Kisah Kapten KPM yang Berakhir di Donggala

 

FOTO: Kapten Willem van den Berg. FOTO: gw.geneanet.org

Sebuah nisan makam berbentuk papan persegi panjang menghampar di tanah lapang. Nisan berbentuk persegi panjang ini tidak memiliki nama, namun terihat seperti pernah memiliki prasasti nama. Tidak jauh dari makam ini, terdapat pemukiman warga dan sebuah masjid. Tepat di sebelah timur makam ini, terdapat kompleks pekuburan Kristen, dengan sejumlah makam tua dengan prasasti nisan berbahasa Belanda, berangka tahun 1920-an.  

Pemerhati sejarah Donggala, Jamrin Abubakar, dalam bukunya, Donggala Kota Pusaka, menyebut kawasan pemakaman ini adalah pemakaman Kristen, yang berada di kawasan perkampungan bernama Jilantana, yang kini berada di seputaran Jalan Jati, wilayah Kelurahan Gunung Bale, Kota Donggala. Menurut Jamrin, masyarakat setempat telah lama mengetahui ada makam Belanda di kawasan pemakaman tersebut.

Pemilik makam berbentuk persegi panjang yang kini tanpa prasasti makam tersebut adalah sosok bernama Willem van den Berg. Willem van den Berg merupakan kapten kapal SS Swartenhondt, salah satu kapal yang berada di bawah naungan perusahaan pelayaran Belanda atau Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Kapal yang dibangun pada 1924 ini, melayani rute pelayaran di Selat Makassar dan sekitarnya, termasuk pelabuhan-pelabuhan di yang berada Teluk Palu.

Jefrianto dalam Riwayat KPM di Teluk Palu menyebut, wilayah Sulawesi bagian Tengah, khususnya Teluk Palu, juga menjadi persinggahan kapal-kapal penumpang milik KPM. Surat kabar De Preanger Bode edisi 22 Desember 1910 yang memuat iklan informasi jadwal pelayaran KPM dari pelabuhan Batavia untuk Desember 1910 misalnya mencatat, kapal dengan nama Baud, yang melayani pelayaran, dengan Palu dan Donggala sebagai salah satu pelabuhan persinggahan.

Pada surat kabar yang sama pada edisi 23 Maret 1911, yang memuat jadwal pelayaran KPM dari pelabuhan Batavia untuk Maret 1911, tercatat nama kapal Van Riemsdijk, yang singgah di Palu dan Donggala. Kemudian pada tahun 1913, ada kapal Van Neck, Mossel dan Rumphius, yang selain singgah di Donggala dan Palu, juga singgah di pelabuhan Wani dari pelabuhan Batavia.

Lalu pada tahun 1914, ada kapal Rumphius, Van Heemskerk, dan Van Waerwijck yang singgah di pelabuhan Palu, Donggala dan Wani, serta Tolitoli, dari pelabuhan Batavia. Kemudian pada tahun 1915 ada kapal Sloet van de Beele yang singgah di pelabuhan Donggala, Palu, Wani dan Tolitoli, dari pelabuhan Batavia. Selanjutnya pada tahun 1917 ada kapal Van Linschoten yang singgah di pelabuhan-pelabuhan yang disebut di atas, dari pelabuhan Batavia.  

Pada periode 1920-an, tercatat pada tahun 1929 ada kapal Barentsz yang berlayar dari pelabuhan Semarang dan singgah di pelabuhan Donggala, Wani dan Palu. Rute ini tercatat dalam iklan jadwal pelayaran KPM dari pelabuhan Semarang untuk November 1929, yang diterbitkan surat kabar De Locomotief edisi 20 November 1929.

Selanjutnya, pada tahun 1930 tercatat ada beberapa kapal yang singgah di pelabuhan Palu, Donggala dan Wani, seperti kapal Roggeven, Swartenhondt, dan Van Cloon dari pelabuhan Semarang. Lalu pada tahun 1931 ada kapal Barentz dan Melchior Treub, yang berlayar dari pelabuhan Semarang.

Siapa Sosok Willem van den Berg?

Willem van den Berg merupakan kapten kapal SS Swartenhondt, salah satu kapal yang berada di bawah naungan perusahaan pelayaran Belanda atau Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Berdasarkan silsilah keluarga yang disusun oleh cucu Willem van den Berg, yang juga menggunakan nama yang sama seperti sang kakek, yang dimuat dalam laman genealogi berbahasa Belanda, gw.geneanet.org, Willem van den Berg lahir di Utrecth, Belanda, 1 Februari 1887. Ayahnya yang juga memiliki nama Willem van den Berg, lahir pada 30 Desember 1857 di Utrecht dan bekerja sebagai tukang bubut di Staatsspoorwegen, sebuah perusahaan kereta api di Hindia Belanda, kurun 1890-1923. Ibunya, Aletta den Bont, lahir di Utrecht, 16 Februari 1859.

Willem van den Berg merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara. Enam orang saudaranya, masing-masing NN van den Berg yang lahir tahun 1882, kemudian Jan Johannes van den Berg yang lahir pada 1884, Alberta Catharina van den Berg yang lahir pada tahun 1885, Hendrika Johanna van den Berg yang lahir pada tahun 1889, Alberta Aletta van den Berg yang lahir pada 1891 dan Margaretha Cornelia Alida van den Berg, yang lahir pada 1895.

Willem van den Berg kemudian menikah dengan Cornelia Anna Maria Tegelaars, pada 3 Maret 1910 di Utrecht. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai dua orang anak, masing-masing  Willem Christiaan van den Berg yang lahir pada 21 Juli 1912 dan Martha Aletta van den Berg, yang lahir pada 30 Juni 1917. Keduanya lahir di Hindia Belanda, tepanya di kawasan Meester (Mr) Cornelis, Batavia.

Petrik Matanasi dalam Meester Cornelis Babat Alas Jatinegara menjelaskan, nama kawasan ini diambil dari nama seorang tokoh bernama Cornelis Senen, seorang guru agama dan penerjemah, yang berasal dari keluarga orang kaya peranakan Portugis dari Selamon di Pulau Lontar, Kepulauan Banda. Senen terlahir tahun 1600. Dia tiba ke Betawi tahun 1621, setelah pulau-pulau sekitar Banda diduduki oleh VOC. Senen datang bersama-sama orang Banda lainnya, termasuk yang dijadikan budak. Belakangan, orang-orang Banda juga punya kampungnya sendiri di Batavia, yakni Kampung Banda. Di tahun 1600an, wilayah tersebut masih tergolong sebagai “di luar kota.” Bagi masyarakat di kampung itu, kemudian, Senen dianggap tokoh masyarakat.

Senen membuka sekolah pertama untuk anak pribumi di Batavia pada 1632. Selain itu, ia juga menjadi pengkhutbah dalam bahasa Melayu dan Portugis. Sebagai orang terhormat dalam bidang agama dan kemasyarakatan, ia pun disapa Meester (baca: mister). Dia menjadi guru jemaat bagi penduduk Kampung Banda di Batavia. Ia diberi tugas lebih luas yaitu pelayanan bagi orang-orang merdeka dan Portugis. Kegiatan lainnya, di sela-sela mengajar, ia meninjau sekolah-sekolah, mendidik dan menguji guru-guru dan memeriksa calon-calon baptisan, berkhotbah dan memberi katekisasi.

Selain sebagai guru agama dan penerjemah, Senen pernah juga dipercaya menjabat Wijkmeester (kepala daerah) untuk Kampung Banda. Rumah Senen berada di Tijgergracht, kini Jalan Pos Kota. Luas tanahnya mencapai 5 km2, di antara sungai Cipinang dengan Sungai Ciliwung. Tahun 1656, sekitar lima tahun sebelumnya kematiannya, Meester Cornelis Senen memperoleh hak menebang pohon di tepi Sungai Ciliwung, jauh sebelah selatan kota. Daerah seluas 5 km2 itu menjadi miliknya pada 1661.

Sosok Meester Cornelis Senen belakangan menjadi nama wilayah, Meester Cornelis, yang kini disebut Jatinegara. Di lahan yang dibuka oleh Senen, belakangan juga pernah jadi kampung orang-orang Bali. Terkait atau tidak, nyatanya di kawasan Jatinegara terdapat sebuah kelurahan bernama Bali Meester. Tak jauh dari Bali Meester juga ada bekas kampung orang-orang Melayu yang kini dikenal Kampung Melayu.

Kiprah van den Berg di Dunia Pelayaran

Willem van den Berg memulai kiprahnya di dunia pelayaran di usia yang terbilang masih sangat muda, yakni 18 tahun, dengan mengikuti ujian tingkat tiga juru mudi kapal uap besar yang dilaksanakan oleh Departemen Angkatan Laut Hindia Belanda, pada 11 Oktober 1905 oleh Komisi Rotterdam. Ijazah kelulusan ujian ii ditandatangani oleh Sekretaris Departemen Angkatan Laut Hindia Belanda, di Batavia, pada 6 April 1908.  

Pada tahun 1908, saat usianya 21 tahun, Willem van den Berg mengikuti ujian tingkat dua juru mudi kapal uap besar, yang dilaksanakan oleh Departemen Angkatan Laut Hindia Belanda di Batavia, pada 20, 24 dan 25 Juni 1908. Ijazah kelulusan ujian ini ditandatangani oleh Komisi Ujian di Batavia, pada 25 Juni 1908.  

Kemudian, pada tahun 1911, saat usianya 24 tahun, Willem van den Berg mengikuti ujian tingkat satu juru mudi kapal uap besar, yang dilaksanakan oleh Departemen Angkatan Laut Hindia Belanda di Surabaya, pada 24 Juli 1908. Ijazah kelulusan ujian ini ditandatangani oleh Komisi Ujian di Surabaya, pada 24 Juli 1911.  

Selanjutnya, pada tahun 1915, saat usianya 28 tahun, Willem van den Berg terdaftar sebagai anggota milisi di Gemeente Utrecht. Hal ini ditegaskan lewat surat yang dikeluarkan oleh Walikota Utrecht tertanggal 24 April 1915.

Pada tahun 1919, saat usianya 32 tahun, Willem van den Berg diangkat oleh KPM sebagai kapten kapal. Hal ini tertuang dalam surat yang ditandatangani Direksi KPM, tertanggal 13 Mei 1919. Dalam surat tersebut tertulis, pihak KPM mengucapkan selamat atas pengangkatan Willem sebagai kapten, per 15 Mei 1919, setelah sebelumnya menduduki jabatan sebagai wakil kapten kapal SS Alting.

Tragedi di SS Swartenhondt

Sebelum meninggal dunia, Willem van den Berg adalah kapten kapal SS Swartenhondt, yang melayani rute Selat Makassar dan sekitarnya. Pada November 1930, van den Berg mengalami musibah saah kapal berlabuh di Manado, yang menyebabkan kakinya patah. Dirinya pun mendapat perawatan dari dokter di Manado.

Namun, meskipun dokter di Manado berpikir bahwa lebih baik van den Berg tinggal di Manado dan tidak ikt berlayar mneruskan perjalanan, kapten van den Berg tidak menginginkan itu. Dia tetap bersikeras ikut berlayar, namun kemudian mengalami demam tinggi dalam perjalanan dan meninggal sebelum kapal mencapai Donggala, pada 11 November 1930, di usia 43 tahun.

FOTO: Makam Willem van den Berg di Donggala. FOTO: gw.geneanet.org


Setelah kapal tiba di Donggala, jasad van den Berg dikebumikan di kawasan Gunung Bale. Akibat prosesi penguburan ini, Swartenhondt terlambat tiba sehari di Makassar.

Akibat insiden ini, seluruh instansi KPM dan seluruh kapal yang ada di pelabuhan Surabaya, sepakat untuk mengibarkan bendera setengah tiang, sebagai tanda turut berkabung.

Berita kematian kapten van den Berg ini, tersebar di sejumlah surat kabar berbahasa belanda, seperti di Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 20 November 1930, Soerabaijasch Handelsblad edisi 18 November 1930, serta De Sumatera Post edisi 28 November 1930.

Makam van den Berg di Donggala sendiri, memiliki prasasti marmer dengan nisan berbentuk persegi panjang. Pagar besi dengan ornamen lingkaran dan bunga serta trisula di ujungnya, mengeliingi makam ini.

FOTO: Kondisi makam Willem van den Berg saat ini. FOTO: Jefrianto


Pasca meninggalnya van den Berg, keluarganya memutuskan untuk kembali ke Belanda.  

 

Post a Comment

0 Comments