FOTO: Wali Kota Palu, Hadianto Rasyid turun langsung meninjau beberapa titik banjir di Kota Palu, Sabtu (12/3/2022). FOTO: HUMAS PEMKOT PALU |
Wilayah Kota Palu yang dilalui banyak sungai, menyimpan ancaman banjir, yang selalu mengintai kehidupan masyarakat kota tersebut. Kota Palu memiliki 11 (sebelas) aliran sungai yang melintas pada semua kecamatan. Data Badan Pusat Statistik 2021 misalnya menyebut, wilayah Palu Barat dilalui oleh Sungai Palu, wilayah Tatanga dilalui oleh Sungai Lewara, wilayah Ulujadi dilalui oleh Sungai Buvu Mpemata dan Sungai Ngolo, wilayah Palu Selatan dilalui Sungai Palu dan Sungai Kawatuna, wilayah Palu Timur dilalui oleh Sungai Kawatuna, Sungai Pondo dan Sungai Vatutela, wilayah Mantikulore dilalui oleh Sungai Palu dan Sungai Pondo, wilayah Palu Utara dilalui Sungai Taipa dan Sungai Pajeko, serta wilayah Tawaeli yang dilalui Sungai Pantoloan dan Sungai Tawaeli.
Banjir lumayan sering
terjadi di Kota Palu. Dalam kurun waktu antara tahun 2000 hingga tahun 2022
saja, sudah kurang lebih 15 kali terjadi banjir di wilayah Kota Palu. Banjir di
Kota Palu terjadi pada 14 Oktober 2003, kemudian pada 7 Mei 2007, di mana seluruh
kawasan bantaran sungai tergenang banjir. Lalu, tiga kali terjadi di 2008,
yakni 24 April 2008, 17 September 2008, dan 24 Oktober 2008. Selanjutnya pada
25 Agustus 2012, akibat luapan Sungai Poboya, yang menyebabkan 2 orang tewas, 4
orang hilang, 101 orang mengungsi dan 212 rumah mengalami kerusakan.
Kemudian 16 dan 17 Januari
2014, banjir menggenangi tiga wilayah di Kota Palu, yakni Kecamatan Palu Barat,
Kecamatan Ulujadi dan Kecamatan Tatanga. Di Palu Barat, banjir menggenangi
rumah-rumah warga di Kelurahan Kampung Lere, Kampung Baru, dan Kabonena.
Sementara di Kecamatan Ulujadi, banjir merendam rumah-rumah warga di Kelurahan
Silae. Sedangkan di Kecamatan Tatanga, luapan air Sungai Palupi meluber hingga
merendam rumah dan jalan raya di Kelurahan Palupi, Tatanga dan Nunu. Lalu pada 21
Mei 2014, Luapan air Sungai Palu menyebabkan empat kelurahan di Kecamatan Palu
Barat terendam. Empat kelurahan yang terendam banjir yakni Kelurahan Ujuna,
Kelurahan Baru, Kelurahan Besusu Barat, dan Kelurahan Lolu.
Pada 9 September 2016,
giliran empat kelurahan diterjang banjir yang membawa material lumpur. Empat
kelurahan itu yakni Kelurahan Tondo, Layana, Baiya dan Pantoloan Boya. Dampak
yang ditimbulkan banjir terparah berada di RT 10, 11 dan 12 Kelurahan Baiya
Kecamatan Tawaeli. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Kota Palu, di RT 10,11 dan 12 Baiya terdapat
sedikitnya 29 rumah warga yang terendam. Lima rumah yang terletak di kompleks
Pasar Vinase Kecamatan Tawaeli bahkan mengalami rusak ringan. Pada 3
Oktober 2016, ratusan rumah di Kelurahan Silae dan Tipo, Kecamatan Ulujadi, diterjang
banjir disertai material lumpur. Banjir yang terjadi menimbulkan kerugian
material puluhan juta rupiah.
Lalu pada 22 Januari
2019, banjir merendam puluhan rumah di dua RT di Kelurahan Baiya, yakni RT 10
dan RT 11.Tinggi permukaan air yang merendam rumah warga bervariasi, antara 30
- 100 sentimeter. akibat dari banjir tersebut, rumah warga dipenuhi lumpur yang
terbawa banjir. Terpantau, banjir disebabkan oleh meluapnya sungai Mangu. Kemudian
pada 6 Juni 2020, hujan deras yang melanda Kota Palu serta kiriman air dari
hulu mengakibatkan banjir yang melanda Kelurahan Baru, Kecamatan Palu Barat. Banjir
merendam 100 rumah dengan ketinggian air ± 25 cm.
Lalu pada 3 Juli 2021, banjir
menerjang Kota Palu. Sedikitnya 110 rumah warga di Kelurahan Baru, Kecamatan
Palu Barat, terendam air luapan Sungai Palu akibat banjir kiriman tersebut.
Kemudian banjir pada 12 Maret 2022, dengan beberapa titik banjir, yakni Jalan
Nokilalaki, Jalan Dr. Wahidin, Jalan Cemara, Jalan Labu, Jalan Pangeran
Hidayat, Jalan Sungai Tanamea, serta Jalan Sungai Lariang. Banjir tersebut
terjadi setelah hujan deras disertai kilat dan angin kencang mengguyur Kota
Palu.
Terakhir, banjir pada 9
Mei 2022, yang mengakibatkan pemukiman warga di empat kelurahan Kota Palu
terendam banjir. Empat kelurahan itu yakni Kelurahan Baru, Besusu Barat, Ujuna,
dan Lolu Selatan. Sebanyak 200 rumah terdampak banjir tersebut.
Banjir
dan Sedimentasi
Banjir yang lumayan
sering terjadi di Kota Palu, berpotensi menyebabkan sedimentasi di alur
sungainya. Djawatan Penerangan Republik Indonesia Kabupaten Donggala, lewat
buku Tanah Kaili yang diterbitkan tahun 1956 menjelaskan, di daerah sungai
Palu, terdapat dua titik erosi dengan tingkat kerusakan yang berbeda. Daerah
pertama yaitu pegunungan bagian barat dan timur lembah Palu dan daerah kedua
yakni, daerah pegunungan di Kulawi.
Dalam buku tersebut,
dijelaskan keterangan singkat insinyur PC van de Weerd dalam laporannya pada
bulan April 1947, menyebutkan kawasan hutan di pegunungan Gawalise yang
terletak di sisi barat lembah Palu, terdiri dari gunung-gunung tinggi dengan
lereng yang ditumbuhi rumput pendek dan kering. Daerah ini kata dia, menderita
banyak kerusakan karena hanyutan air. Menurutnya, hujan lebat di puncak-puncak
gunung, menyebabkan bahaya banjir besar. Banjir ini kata dia, membawa material
tanah dan batu dalam jumlah besar.
Banjir tersebut
menurutnya, mengakibatkan endapan di sekitar sungai. Dirinya mencontohkan
sungai Sombe dan Sungai Lewara di saat itu, yang memiliki endapan material
akibat banjir, yang luasannya mencapai beberapa meter. Di utara sungai Sombe
menurut dia, sudah dibuatkan bronjong sebagai penahan material yang mengalir
bersama banjir.
Kondisi bentang alam,
terutama di pegunungan sebelah barat, di mana aliran sungainya melewati
wilayah-wilayah yang curam, sehingga nampak seperti air terjun. Kondisi bentang
alam seperti ini menurutnya rentan menimbulkan banjir disertai endapan
material, jika hujan deras terjadi di wilayah sekitar puncak.
Hal lain yang juga
dituliskan sebagai penyebab erosi adalah tumbuhan-tumbuhan yang ada di kawasan
pegunungan, tidak mampu mengikat tanah. Kawasan Kulawi menurutnya saat itu
cenderung lebih baik, karena masih lebatnya hutan di pegunungan-pegunungan,
serta sistem perladangan yang baik. Erosi sendiri menurutnya saat itu, adalah
potensi bahaya besar yang mengancam lembah Palu, di mana sungai-sungai
bertambah lebar dan ribuan hektar tanah pertanian musnah.
Cerita tentang banjir
di Sungai Palu yang seringkali membawa endapan material, juga pernah dituturkan
oleh Asman Yodjodolo, mantan tahanan politik 1965. Dirinya yang pernah dipekerjapaksakan
dalam proyek membendung sungai Palu yang disebut Komando Kali Palu (KKP) pada
medio 1967, mengingat dengan jelas, sebelum para tapol dipekerjakan untuk
membendung sungai Palu, jika sungai tersebut meluap dari hulu, pasti akan
merendam sejumlah wilayah, seperti Ujuna, Besusu, Kampung Baru, serta Lere.
Sementara itu, pengamat
kebencanaan Sulteng, Drs Abdullah, MT, bersama Mujirin M Yamin dan Irwan Said,
dalam artikel DAS Sungai Palu, Menantang Komitmen dan Profesionalisme, yang
terbit di Harian Umum Mercusuar pada 29-30 Maret 2000 menjelaskan,
aliran Sungai Palu yang deras, akan aktif mengikis tebing-tebingnya,
terutama pada bagian meander-luarnya. Alirannya yang keruh, terutama pada
saat/setelah hujan, cukup menggambarkan kondisi DAS Palu yang mudah tererosi,
sekaligus menunjukkan besarnya beban sedimen yang terangkut di dalam aliran
sungai tersebut. Beban sedimen ini, sebagian mengendap ke dasar sungai Palu dan
sebagian lagi dimuntahkan ke teluk Palu.
Hasil pengukuran lapangan (Nopember 1998), di 10 titik pengamatan
pada berbagai kelas kemampuan lahan yang dianggap mewakili berbagai bagian
kawasan DAS Palu, diperoleh prediksi erosi yang terendah adalah 197
ton/ha/tahun, pada kemampuan lahan kelas IV, dan yang tertinggi
sebesar 2.210 ton/ha/tahun pada lahan kelas VIII. Nilai-nilai ini jauh
melampaui nilai etol (erosi yang dapat ditoleransi) pada lokasi-lokasi
tersebut, yang nilainya hanya berkisar 19,6 - 51,2 ton/ha/tahun.
Dalam tulisan tersebut dipaparkan, secara visual dapat diketahui, debit sedimen sungai Palu sangat besar, seperti yang telah disebutkan di atas. Dari hasil pengukuran lapangan (Nopember 1998), diperoleh nilai kuantitatif debit sedimen sungai Palu, yaitu 0,187 m3/det. atau 16.128 m3/hari atau 483.840 m3/bulan atau 5.806.080 m3/tahun. Implikasi dari besarnya beban sedimen ini adalah, pertama, Pendangkalan sungai Palu relatif cepat, terutama pada segmen Kodya Palu. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya gosong-gosong pasir (pulau-pulau kecil) dalam aliran sungai Palu, di mana delta di muaranya luasnya sudah sekitar 1 Ha. Gosong-gosong pasir dan delta tersebut, akan membelokkan aliran air ke arah tebing sungai dan akan mengikis tebing tersebut.
Gosong-gosong pasir dan delta merupakan lahan tanah yang sangat subur. Di
bagian hilir jembatan III Palu, tampak 1 atau 2 gosong-gosong pasir telah
dimanfaatkan sebagai kebun oleh masyarakat setempat.
Pada saat/setelah hujan, warna air laut di teluk Palu (sekitar muara) dengan cepat berubah warnanya menjadi kecoklatan, akibat muntahan material sedimen dari Sungai Palu. Kemudian sedimen ini juga akan mengendap ke dasar teluk, khususnya pada jarak yang tidak terlalu jauh dari muara, dan akan merubah morfologi pantai dan batimetri perairan teluk.
Dalam hal ini bentuk dan posisi garis pantai akan berubah dengan cepat dan
perairan teluk Palu pada jarak ini akan semakin dangkal. Dampak berikutnya dari
pengendapan material sedimen ini adalah tunas-tunas karang, yang pertumbuhannya
hanya sekitar 1 cm/tahun, akan mati atau tidak akan tumbuh karena tertutupi oleh
material sedimen tersebut.
Penjelasan di atas, menjawab pertanyaan, mengapa sebagian besar jenis tanah di lembah Palu, khususnya di wilayah Kota Palu, terdiri dari tanah sedimen. Muatan material sedimen yang dihasilkan oleh sungai-sungai yang melintasi wilayah lembah Palu, mengendap di sekitar DAS masing-masing sungai, dan menjadi lahan baru, yang selanjutnya dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan pemukiman. Sedimentasi DAS ini juga menyebabkan pendangkalan sungai, yang berimplikasi pada berkurangnya debit air atau bahkan menyebabkan sebagian sungai kini mengalami kekeringan dan lahan DAS ini sebagian kini beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman.
Abdullah menjelaskan,
pendangkalan Sungai Palu misalnya, menyebabkan daya tampung sungai berkurang,
sehingga pada saat curah hujan tinggi dapat terjadi banjir. Kemudian,
mulut-mulut drainase yang bermuara ke Sungai Palu juga terancam tersumbat,
sehingga Kota Palu terancam tergenang selalu meskipun tidak hujan.
Selain itu,
gosong-gosong pasir dan delta yang tidak jelas status kepemilikannya dan dapat
menimbulkan konflik sosial. Pendangkalan juga berimplikasi pada menurunnya
tangkapan nelayan, karena pakan terendapkan bersamaan dengan sedimen, serta
matinya terumbu karang, karena keruhnya perairan Teluk Palu di sekitar muara
sungai dan ditutupi oleh sedimen yang mengendap. Implikasi lainnya adalah
menurunnya kualitas air sungai dan air laut Teluk Palu.
Jika melihat lebih jauh
tipologi lahan di kawasan-kawasan yang terdampak likuefaksi, atau melihat peta
tua lembah Palu buatan etnolog Albert Christian Kruyt pada 1900-an, terlihat
bahwa sebagian besar lokasi lahan yang terdampak likuefaksi, seperti Perumnas
Balaroa, Petobo, Jono Oge, dan Sibalaya, dahulu merupakan kawasan DAS dari
sungai yang telah mengering. Arkeolog Museum Negeri Sulteng, Iksam misalnya,
lewat peta tersebut mengidentifikasi, wilayah Perumnas Balaroa yang terdampak
likuefaksi, merupakan DAS Uwe Numpu, Petobo merupakan DAS Kapopo dan Jono Oge
merupakan DAS Paneki. Getaran gempa teramplifikasi tanah sedimen di
lokasi-lokasi tersebut, sehingga jika kondisi tanah memiliki banyak kandungan
air, dapat berpotensi tinggi terjadi likuefaksi.
Kondisi lahan di lembah
Palu, yang sebagaian besar terdiri dari tanah sedimen, juga memiliki potensi
menimbulkan rekahan-rekahan tanah hingga penurunan muka tanah (downlift) saat
terjadi gempa. Hal ini tampak nyata di Kota Palu, beberapa hari pasca gempa 28
September 2018, di mana banyak rekahan tanah yang tampak, terutama di wilayah
Palu bagian timur, bahkan di kawasan Besusu, rekahan-rekahan dan patahan tanah
mengeluarkan air bercampur lumpur. Downlift juga terjadi di muara Sungai Pondo,
di mana fenomena tersebut menyebabkan amblasnya Pusat Rekreasi Masyarakat
(Pusrekmas) yang tepat berada di muara, serta jembatan penghubung menuju
kawasan penggaraman.
Sejumlah warga sekitar
muara Sungai Pondo, di kawasan yang pasca bencana dikenal sebagai lokasi
dermaga pelabuhan tua Limbuo tersebut, pada peringatan 91 tahun bencana 1
Desember 1927 di lokasi tersebut, Desember 2018 lalu, membenarkan proses
sedimentasi di DAS Pondo, terutama di kawasan muara. Salah seorang warga
misalnya, menyebut proses sedimentasi tersebut menyebabkan garis pantai di
kawasan tersebut bertambah setiap tahun, bahkan menutupi bekas tiang pancang dermaga
pelabuhan tua Limbuo, yang pasca bencana, kembali muncul ke permukaan, seiring
penurunan muka tanah di kawasan tersebut.
Di kawasan lainnya di
lembah Palu, seperti di wilayah Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi,
penurunan muka tanah terjadi di ruas jalan, hingga mencapai 30-50 meter.
Penurunan muka tanah juga terjadi di kawasan muara sungai Palu dan kawasan
pantai teluk Palu di wilayah Besusu, Lere, dan Silae.
Proses sedimentasi di
lembah Palu ini, setidaknya menjawab pertanyaan, mengapa gempa bumi berkekuatan
7,4 SR yang terjadi 28 September 2018 lalu, begitu merusak, terutama di wilayah
lembah Palu. Tipologi lahan di lembah Palu yang sebagian besar terdiri dari
tanah sedimen, mengamplifikasi getaran gempa, hingga menyebabkan turunan
bencana lainnya, seperti tsunami, likuefaksi, longsor, hingga downlift.
0 Comments