FOTO:Data USGS tentang gempa 20 Mei 1938. FOTO: USGS
20 Mei 2022, 84 tahun berlalu setelah peristiwa bencana gempa bumi dan tsunami yang melanda kawasan Teluk Palu dan Teluk Tomini, di tengah malam buta. Data United States Geological Survey (USGS) menyebut, gempa bumi yang terjadi pada 19 Mei 1938 pukul 17.08 waktu UTC atau 20 Mei 1938 pukul 1.08 WITA ini, berkekuatan M 7.7, dengan episentrum 120 km arah timur laut Palu, di titik 0.045°S 120.537°E atau berada di Teluk Tomini di lepas pantai depan wilayah Tada. Getaran gempa dengan kedalaman 35.0 km ini sangat dirasakan dan menimbulkan kerusakan parah di sekitar kawasan Teluk Palu dan Teluk Tomini. Gelombang tsunami yang dihasilkan oleh gempa bumi ini, juga meluluhlantakkan dua kawasan teluk tersebut.
Bencana ini kemudian menjadi pembicaraan hampir semua surat kabar berbahasa Belanda, baik yang terbit di Hindia Belanda maupun yang terbit di Belanda. Temanya pun bermacam-macam, mulai dari laporan dampak bencana, upaya penanganan dari pemerintah kolonial, bantuan dari Ratu Belanda, serta bantuan dari lembaga keagamaan dan lembaga donor.
Pemberitaan tentang kesaksian penyintas yang merasakan langsung bencana tersebut, jarang ditemukan saat itu. Jurnalis Haagsche Courant mungkin merupakan satu di antara penyintas yang merasakan langsung bencana itu, saat berada di Poso. Pengalaman merasakan langsung peristiwa bencana ini, kemudian dituliskan dalam sebuah laporan jurnalistik, yang terbit di surat kabar tersebut, edisi 22 Juli 1938.
Selain jurnalis Haagsche Courant, ternyata ada satu lagi kesaksian penyintas yang terekam oleh surat kabar berbahasa Belanda di masa itu. Surat kabar De Locomotief yang terbit di Semarang sejak 1845, dalam edisi 11 Juli 1938, mengutip De Standaard, surat kabar harian yang terbit di Belgia, yang menayangkan isi surat dari istri Kontrolir Parigi, G. van Wieren, yakni Anna A. Wigger van Wieren, kepada saudara iparnya, F. van Wieren di Schiermonnikoog. Dalam surat tersebut, istri Kontrolir Parigi ini menceritakan tentang gempa bumi di Sulawesi Tengah.
Artikel yang diterbitkan oleh De Locomotief ini mengambil judul Aardbeving ini Midden Celebes (Gempa bumi di Sulawesi Tengah), dengan judul kecil Een Moeder Vertelt haar Familie in Holland van de Verschrikkingen van een Nacht (seorang ibu memberitahu keluarganya di Belanda tentang kengerian malam), Ik werd opgenomen en uit bed geslingerd (saya dijemput dan dilempar dari tempat tidur), dan Aangrijpend Relaas (cerita yang mencekam).
Anna dalam suratnya menceritakan, jika kita melihat kondisi Parigi, satu bulan lebih pascabencana 20 Mei 1938, hari berjalan seperti hari-hari lainnya dan orang tidak dapat membayangkan, Parigi baru saja mengalami bencana yang begitu hebat. Dalam surat terakhirnya sebelum bencana itu, Anna menulis bahwa pencabutan gigi gerahamnya di Saparua, adalah hal yang terburuk yang pernah dia alami. Dirinya mengaku memiliki firasat bahwa mereka akan segera mengalami peristiwa yang sifatnya sama sekali berbeda dari pecabutan gigi geraham itu, tetapi lebih serius.
Dalam surat yang ditulis setelah bencana 20 Mei 1938, Anna mengatakan bahwa mereka baik-baik saja, dan mencoba memberi tahu beberapa hal yang ia rasakan saat bencana itu terjadi. Saat itu tulis Anna, Kamis malam, 19 Mei 1938, dirinya sendirian di rumah bersama Coenraad, anak laki-lakinya. Suaminya, pejabat Kontrolir yang bertugas di Parigi sejak 3 Oktober 1936, G. van Wieren, sedang tur dan menginap di sebuah pesanggrahan, yang terletak sekitar tiga jam perjalanan dari Parigi.
Anna menulis, sekitar pukul 23.30 WITA, dia terbangun karena guncangan keras yang ia rasakan di tempat tidurnya. Dalam keadaan masih setengah tertidur, ia merasakan gempa bumi, disertai dengan getaran rumah yang menyertainya. Menurut Anna, guncangan gempa ini sedikit lebih lama dari yang mereka alami sejauh ini. Dia kemudian pergi menemui anaknya, yang sedang tidur nyenyak di kamar sebelah.
Di kamar anaknya, Anna berdiam sejenak, mendengarkan dengan seksama desas-desus yang datang dari kampung. Dirinya memakai kimono (baju tidur) nya dan pergi ke pintu yang terbuka, tetapi dipaku dengan kelambu. Selama beberapa saat, ia berdiri mendengarkan, tidak ada suara yang memecah kesunyian dan beberapa menit berlalu. Namun ia tidak tenang dan memikirkan cara terbaik untuk keluar dari rumah, jika guncangan itu terulang kembali. Tidak ada pintu ke luar di dalam ruangan, jadi ia harus masuk ke dalam, yang membuatnya merasa tidak nyaman. Sepuluh menit telah berlalu, suasana begitu sunyi, sehingga ia memutuskan untuk berbaring lagi.
Saat hendak kembali tidur itulah, Anna merasa seolah-olah diangkat dan dibuang dari tempat tidur. Ia kemudian bergegas ke Coenraad dan mengangkatnya dari tempat tidur, dengan maksud meninggalkan kamar secepat mungkin. Namun kata dia, ini lebih mudah dipikirkan daripada dilakukan. Keduanya terlempar ke tempat tidur dan Anna berhasil berpegangan pada jeruji dengan susah payah. Sementara itu terdengar suara yang memekakkan telinga, lemari dan kursi berguling, lukisan-lukisan beterbangan dari dinding, meja rias melesat cepat melintasi ruangan dan berhenti di ujung yang lain.
Anna menulis, setiap kali ia mencoba melarikan diri, tetapi setiap kali ia berguling dan berputar ke arah yang salah. Ia kemudian memutuskan berlindung di bawah tempat tidur. Ia duduk di sana selama beberapa detik, berharap bahwa rumah akan segera runtuh, sehingga ia tidak terjebak di dalam rumah. Ia kemudian terlempar lagi, melihat lampu padam, dan akhirnya berhasil mencapai pintu. Di bawah pecahan dinding yang jatuh, ia berlari menyusuri lorong menuju ruang makan. Dengan cahaya lampu dari lemari es, ia berhasil melewati lemari, kursi, dan meja yang terbalik. Ia menginjak kaca, hampir terpeleset, terpeleset dalam segala macam kelembapan dan kemudian mencapai pintu luar.
Dalam keadaan pusing dan mabuk, Anna berlari di jalan. Tiba-tiba terdengar suara Coenraad di telinganya. “Apa itu mama? Barang-barang berjatuhan semua?”. Selanjutnya, Coenraad kata Anna tidak mengeluarkan suara, dan ia mendengar teriakan dan jeritan di mana-mana. Anna berjalan ke samping ke rumah-rumah, ia melihat seorang pria muncul dan mengatakan "nyonya, gempa bumi yang mengerikan". Lelaki itu terengah-engah.
Kemudian, semakin banyak orang berkumpul, dengan anak-anak di lengan mereka. Sementara itu, masih terdengar gemuruh di bawah tanah. Di sana-sini kata dia, terdengar suara runtuhan bangunan. Anna dan Coenraad berdiri di sana bersama-sama dengan warga lainnya.
Guncangan gempa kata dia, kemudian menjadi kurang intens dan lama. Ia dan warga yang berkumpul, mulai saling menceritakan ketakutan yang mereka alami. Tidak ada yang tahu persis apa yang terjadi dengan rumahnya, sehingga mereka memutuskan untuk menunggu pagi di tempat itu. Orang-orang kemudian datang dari bagian lain desa, dan mereka perlahan-lahan memantau kondisi sekitar. Mereka mengatakan, sebagian besar rumah telah runtuh, termasuk gereja dan sekolah-sekolah.
Paginya, Anna bersama warga lainnya, pulang ke rumah mereka. Ia membawa beberapa pemuda bersamanya untuk mengecek rumah. Dilihat dari luar, kerusakan rumah tidak terlalu parah, tetapi di dalamnya tampak menyedihkan. Dindingnya tampak retak parah dan potongan besar batu telah jatuh dari dinding.
Anna menulis, seminggu setelah peristiwa, masih ada keresahan di benak semua orang. Hal ini kata dia, karena mereka telah merasakan guncangan beberapa kali, terutama pada malam hari. Tidak begitu keras kata dia, tetapi dapat membuat orang melompat dari tempat tidur lagi dan ketakutan.
Sebagian besar orang kata dia, telah mengungsi ke desa lain, yang tingginya sekitar 100 meter, di mana beberapa rumah masih tersisa. Warga yang lain tetap tidur di luar atau di teras depan rumahnya, jika rumahnya tetap berdiri. Keluarga Anna tidur di garasi. Ia mengatakan tidak berani masuk ke rumah pada malam hari, karena terutama menjelang malam, semua kengerian datang ke pikiran. Dirinya masih merasakan trauma, sehingga ketika mesin mobil dihidupkan, ia langsung kaget. Dirinya tidak berani tidur di rumah, karena selain masih trauma, keadaan juga belum memungkinkan, karena kamar tidur khususnya perlu direnovasi total. Seorang insinyur dari Poso kata dia, telah tiba dan telah melihat kondisi rumahnya.
Anna menulis, suaminya tidak merasakan guncangan pertama gempa pada Kamis malam tersebut, tetapi saat guncangan yang kedua, dia berbaring di tanah. G. van Wieren kemudian secepat mungkin kembali Parigi, tetapi ia terhambat, karena pohon tumbang dan jembatan yang rusak. Dia tiba di Parigi pada Jumat sore sekira pukul 14.30 WITA.
Sebagai Kontrolir Parigi, G. van Wieren kata Anna, kemudian mendampingi Residen Manado, M. van Rhijn, yang telah menunggu dengan perahu di teluk dan ingin melihat daerah yang rusak terdampak bencana. Dari hasil pemantauan itu, kerusakan jauh lebih buruk daripada yang dialami di Parigi. Ada 17 orang tewas akibat tsunami, dengan rincian sembilan orang dewasa dan delapan anak-anak.
Pengalaman yang dituliskan oleh Anna ini, menjadi bukti penting dan temuan yang sangat berharga untuk memperkaya kajian mengenai bencana 20 Mei 1938. Selama ini, narasi tentang suasana saat gempa tersebut terjadi, hanya bisa kita dapatkan dari sumber lisan, dari warga penyintas yang masih hidup hingga saat ini. Namun, dengan rentang waktu yang kini mencapai 84 tahun, sudah sangat sulit mencari penyintas yang masih hidup dan mampu menceritakan pengalamannya saat bencana itu terjadi.
Laporan tentang pengalaman Anna ini juga menunjukkan, bencana 20 Mei 1938 merupakan sebuah bencana besar yang kemudian menyita perhatian Pemerintah Kolonial Belanda, juga pers di masa itu. Hingga berbulan-bulan setelah kejadian, berita tentang bencana tersebut masih dapat ditemukan di surat kabar. Pengalaman Anna ini menjadi perspektif lain yang hadir terkait berita yang membahas bencana tersebut, juga menegaskan, pengalaman penyintas saat bencana terjadi, menjadi sesuatu yang berharga untuk dijadikan pelajaran ke depan, agar kita selalu bersiap, karena kita hidup di atas patahan. ***
0 Comments