Maulu: Merayakan Maulid di Midden Celebes

FOTO: Perayaan Maulid di wilayah Besusu, Kota Palu. FOTO: DOK JEFRIANTO


Etnolog berkebangsaan Belanda, Albert Christiaan Kruyt dan ahli linguistik berkebangsaan Belanda, N. Adriani, mendokumentasikan sejumlah ritual keagamaan yang dilakukan umat Islam di wilayah Midden Celebes (Sulawesi Tengah), pada awal abad ke-20. Salah satu ritual yang didokumentasikan adalah Maulid (Maulu). Dokumentasi ini hadir dalam buku De Bare'e-sprekende Toradja's van Midden-Celebes yang dipublikasikan keduanya pada 1912. 

Keduanya menulis, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tidak selalu dirayakan pada bulan yang telah ditentukan. Maulid biasanya dirayakan setelah 12 Rabiul Awal, sebab persiapannya memakan waktu yang sangat banyak, karena makanan yang biasa diberikan pada kesempatan itu, seringkali sangat mahal.

Perayaan Maulid tulis keduanya, tidak selesai dalam satu hari, tetapi berlangsung selama sebulan. Hal ini karena banyak orang yang memberikan makan pada acara Maulid. Pada perayaan ini, Kepala lanskap memimpin jalan, diikuti oleh anggota lain dari rumahnya, dan setelah itu datang para tokoh, biasanya tiga keluarga, dalam satu malam pada waktu yang sama. Ketika masyarakat yang merayakan tidak dalam masa panen beras dan hanya memiliki stok beras yang sedikit, mereka juga disuplai dengan beras. Waktu Maulid disebut sebagai waktu untuk memberi makan (menyiapkan hidangan), tetapi terkadang, tempat-tempat utama di wilayah-wilayah yang dihuni umat Islam di Midden Celebes kosong (ditinggalkan), karena mereka pergi ke tempat lain, agar tidak terdorong secara moral untuk menyiapkan makanan Maulid.

Persiapan perayaan Maulid ini lanjut Kruyt dan Adriani, terdiri dari beberapa langkah. Pertama meletakkan kanopi kapas di tengah rumah, dengan banyak batang buah pinang yang sangat muda digantung di atasnya, serta pisang raja. Di bawahnya ada bingkai persegi yang terbuat dari potongan kayu atau bambu, biasanya berukuran 1 m3 atau kurang. Bingkai ini ditutupi dengan kapas putih dan dihiasi dengan bintang, bendera, dan karangan bunga yang dipotong dari kertas atau kapas berwarna. Kotak dibiarkan terbuka dari atas dan di sudut-sudutnya terdapat burung-burung yang ditenun dari daun lontar atau terbuat dari kapas, sedangkan di ujung atap terbuka, yang terdiri dari empat potong kayu, bertemu di tengah dari sudut-sudut kotak. Biasanya burung yang lebih besar, terbuat dari potongan kapas, dijahit, dan digantung.

Kemudian, semua jenis buah-buahan ditempatkan dalam wadah, bersama ketupat dan telur rebus. Bingkai yang disebut menyerupai rumah-rumahan ini disebut Malige, yang diadopsi dari kata dalam Bahasa Melayu yakni Maligei (Istana), yang diambil dari bahasa Bugis, Istana. Menurut representasi orang-orang muslim, rumah-rumahan ini merupakan perwujudan dari rumah di mana Nabi Muhammad SAW lahir.

Burung-burungan yang diletakkan di Malige, diyakini membawa semua yang dikumpulkan di Malige ke Jakera, ke Nabi Muhammad SAW. Kepercayaan bahwa burung membawa kurban, adalah kepercayaan lokal masyarakat, di mana pada peresmian rumah baru, dibuatlah sebuah rumah kecil, yang di atasnya diikatkan tiang-tiang untuk membawanya kepada makhluk halus. Rumah seperti itu kemudian digantung di atap rumah. Orang-orang muslim saat itu, masih setia mengikuti kebiasaan ini.

Para tamu kemudian memasuki rumah saat malam tiba. Mereka kemudian berkumpul untuk melakukan salat. Kemudian, beberapa anak yang baru saja menyelesaikan bacaan Alquran (khatam), juga diperbolehkan untuk menunjukkan kemampuannya. Ketika hal tersebut selesai, semua pria yang hadir akan membacakan kitab Barasandji. Kitab ini disebut berisi ucapan selamat atas Nabi Muhammad SAW, kemudian sila-sila (salsila) atau silsilah, dan terakhir Jaimanja , yang berasal dari bahasa Arab yakni Adjmaina, yang bermakna "semuanya", yang merupakan kata terakhir dari berkat atas Nabi Muhammad SAW, para sahabat dan anggota keluarganya. Dari kata ini, suku kata “na” diambil dan diganti dengan “Bare'e nja”, pujian dari Nabi Muhammad SAW, para sahabat dan kerabatnya. Menurut masyarakat lainnya, kitab ini juga berisi lagu pengantar tidur Fatimah Az Zahra RA, saat kelahiran anak pertamanya, didahului dengan pidato untuk semua nabi dari Nabi Adam AS. Barasandji ini adalah zikir, yang dalam bahasa masyarakat di Teluk Tomini disebut Mosikiri, yang diambil dari kata dalam bahasa Bugis untuk zikir, atau mokaa-kaasaka, sebuah kosakata lokal, yang berarti nyanyian bagian-bagian tertentu dalam sajak dari sastra lokal.

Menjelang akhir zikir, beberapa orang berkeliling di antara para tamu, membagikan tongkat yang terdiri dari sebuah kotak kertas telah ditusuk, yang telah diberi wewangian dengan kemenyan, dan sebuah batu nisan yang diukir dari sumsum tua, telah ditempatkan di atasnya. Keseluruhannya dihias dengan segala macam tambalan kapas. Hal itu disebut mewakili makam Nabi Muhammad SAW. Sesampai di bagian zikir itu, yang disebut Saraka, yang dalam bahasa Arab disebut Ashraka'l-Badr Al-Muniru atau bulan bercahaya (Nabi) telah terbit, yang juga disebut asrakal di Jawa dan di tempat lain. Setelah Saraka, semuanya melompat dan memetik tandan muda sirih dan pisang yang digantung di Malige. Tandan pinang muda dimasukkan ke dalam jilbab oleh perempuan, sedangkan laki-laki menggunakan untuk menghiasi rambut mereka. Hal ini disebut membawa banyak berkah (Mobaraka, berasal dari bahasa  Melayu, berkat).

Setelah itu, dilaksanakan makan bersama, yang terdiri dari nasi, daging dan ikan, diikuti oleh kue-kue. Setelah jamuan, orang-orang kembali berzikir lagi, di mana isi Malige dibagi di antara para tamu. Keduanya menyebut, masyarakat meyakini, memakan isi Malige membawa berkah khusus, karena "roh" dari semua makanan ini telah dibawa kepada Nabi Muhammad SAW oleh burung-burung dan dikonsumsi olehnya. Keberkahan dalam mengkonsumsi makanan ini, adalah dimakan bersama dengan Nabi Muhammad SAW. Kruyt dan Adriani menceritakan, Syahbandar Parigi pernah menceritakan kepada mereka sebuah mimpi, di mana malaikat mengatakan kepadanya, dia harus mencoba mencari tahu hari lahir Nabi Ibrahim AS. Ketika dia menemukannya, dia harus menyiapkan makanan setiap tahun pada hari itu, dan mengundang Nabi Ibrahim AS ke sana. Dia akan sangat diberkati dengan ini.

Prosesi terakhir dari perayaan Maulid ini, yakni pemberian hadiah berupa uang  atau Sudaka (sedekah) mulai dari 0,10 hingga 2,50 gulden, yang diberikan kepada setiap tamu. Perayaan ini akan diulang pada malam berikutnya. Keduanya juga menyebutkan, permainan kartu dan dadu dilarang keras di perayaan ini.

Peringatan hari lahir dan kematian Nabi Muhammad SAW, disebut telah mendorong orang untuk mengingat kematian mereka sendiri juga. Hal ini karena pada hari-hari tua, piring dengan nasi dan telur dibawa ke kuburan dan diletakkan di atasnya, sementara lampu dinyalakan di malam hari.

Sebuah perayaan Maulid, seperti dijelaskan di atas, disebut hanya dapat dilaksanakan oleh orang yang kurang lebih kaya. Selain anggota rumah kepala suku, di Tojo biasanya ada sekitar tiga puluh keluarga yang melakukannya. Mereka disebut puas dengan makanan sederhana yang disebut Sandji, yang merupakan dari kependekan Barasandji. Pada perayaan itu, beberapa guru (ulama/ustaz) diundang.


Post a Comment

0 Comments