FOTO: Husni Alatas. FOTO: Halaman FB HUSNI ALATAS |
Selasa (29/3/2022), genap 45 tahun peristiwa kecelakaan pesawat Twin Otter DHC-6 bernomor registrasi PK-NUP MZ-516 milik Merpati Nusantara Airlines, yang ditumpangi 20 penumpang dan 3 awak lainnya, di Gunung Tinombala, 29 Maret 1977. Kecelakaan ini menewaskan 13 dari 23 orang yang menumpang di pesawat tersebut, termasuk Husni Alatas, koresponden Tempo di Sulteng yang juga pemimpin redaksi surat kabar Sulteng Post.
Siapa Sosok Husni
Alatas?
Istri Husni Alatas, Rosni Alatas, dalam catatannya yang dinukil Yusuf Abdullah Puar, dalam buku Peristiwa Gunung Tinombala yang diterbitkan oleh Pustaka Antara pada 1977 menyebut, Husni Alatas lahir di Tolitoli pada 1938. Ia terjun ke dunia jurnalistik sejak 1955, dengan menjadi jurnalis Pedoman Rakyat di Makassar.
Pada 1962, Husni pindah ke Palu dan menjadi pengusaha. Pada 1968, ia menerbitkan surat kabar Sulteng Post di mana ia menjadi pemimpin redaksinya, bersama Zainal Abidin (Hoja), sebagai wakil pemimpin redaksi. Idrus Rore dalam bukunya Dari Zamroed Paloe Hingga Mercusuar: Pasang Surut Surat Kabar di Kota Palu (1935 – 1993) menulis, Sulteng Post merupakan salah satu dari 12 surat kabar yang ada di Kota Palu, pada periode 1965-1982. 12 surat kabar ini masing-masing Nusa Putera yang dipimpin Chaeruddin Modjo dan Achmad Rumu, Mertju Suar yang dipimpin Rusdi Toana, Suluh Nasional yang dipimpin Abdul Malik Baso, Derap Massa yang dipimpin Radjulaeni Lahamado, Duta Masjarakat yang dipimpin Rustam Lawido dan Yunus Kindangen, Sinar Harapan yang dipimpin Jusak Ph. Tarro dan Titus Lau, Berita Yudha yang dipimpin Nungci H. Ali, Tadulako yang dipimpin Achmad Rumu, Sulteng Post yang dipimpin Husni Alatas, Suara Umat yang dipimpin oleh Abdul Hafid Hindi, Pelopor Karya yang dipimpin M.H. Kuswandi, M.A. Said dan Aminuddin Ponulele, serta Al-Chairaat yang dipimpin Muchtar Labalado dan Hamid Rana.
Menurut Idrus, pada periode ini, penerbitan surat kabar dihadapkan secara yuridis untuk berafiliasi pada salah satu partai politik atau organisasi massa tertentu, yang diakui oleh pemerintah. Adapun kecenderungan lain dunia jurnalistik di Kota Palu pada periode ini yaitu, sebagian wartawan berstatus sebagai pegawai negeri sipil, seperti Hamid Rana, Palisu Dg. Marau, Radjulaeni Lahamado, Jusak Ph. Tarro dan M.H. Kuswandi.
Sulteng Post, Buah
Tangan Husni Alatas
Sulteng Post sendiri berstatus sebagai surat kabar mingguan. Idrus mencatat, Sulteng Post mencapai terobosan terbesar, dengan menjadi surat kabar yang mencapai tiras 6.000 eksemplar. Meskipun tiras ini tidak dicapai dalam sekali penerbitan, tapi di periode itu, capaian ini tergolong luar biasa.
Kejayaan Sulteng Post sendiri tidak bertahan lama, karena pada tahun 1977, seiring wafatnya Husni Alatas pada 29 Maret 1977, Sulteng Post juga menyusul pendirinya. Adapun staf redaksi Sulteng Post saat itu, yakni S.D. Sumarto dan Achmad A.H. Patau, sedangkan pembantu di daerah, masing-masing Tony Rifai di Tolitoli, Iswan Buchamin di Parigi, dan Abd. Rahman di Donggala.
Sulteng Post diterbitkan oleh Badan Penerbit dan Percetakan Sulawesi Tengah Press. Surat kabar ini beralamat redaksi di Jalan Tondatedajo (sekarang Jalan Imam Bonjol), di depan terminal bus Kampung Baru. Sulteng Post terbit mingguan dengan harga langganan Rp50 per bulan. Surat kabar ini memiliki tiga kolom khusus, masing-masing Palu Sehari Dalam Berita, Pantai Timur Selayang Pandang dan Sulteng Sepintas Kilas.
FOTO: Nukilan berita di Sulteng Post edisi 17 Januari 1970, tentang wafatnya Soe-Hok-gie. FOTO: REPRO KHST |
Sepanjang perjalanan Sulteng Post, Husni Alatas juga menjalin relasi dengan berbagai pihak, salah satunya dengan Soe Hok-gie. Hal ini dibuktikan dengan penerbitan berita tewasnya Hok-gie di puncak Semeru pada 16 Desember 1969, yang terbit di Sulteng Post edisi 17 Januari 1970, dengan judul “Soe Hok-gie Tewas di Puntjak Semeru”. Dalam berita tersebut disebutkan, Husni Alatas bertemu dengan Soe Hok-gie di Jakarta pada awal Oktober 1969. Dalam pertemuan itu, Hok-gie menyatakan kesediaan membantu Sulteng Post, dengan menerbitkan tulisannya di terbitan Sulteng Post No.11 Tahun 1, tanggal 10 Januari 1970, dengan judul “PNI, NU, MKGR Sama Sadja”.
Husni, Jurnalis yang
Mencintai Daerahnya
Pada periode ini pula, tepatnya pada 1973, Kantor Berita ANTARA Sulteng didirikan, setelah sejak 1964, Kantor Berita ANTARA di Palu masih berstatus koresponden. Keberadaan Kantor Berita ANTARA ini juga menjadi penting dalam perjalanan karir Husni Alatas, yang menjadi salah seorang pembantu Kantor Berita Antara di Palu.
Menurut Rosni, Husni juga juga menjadi jurnalis di beberapa surat kabar di Palu. Terakhir, ia menjadi koresponden Tempo di Sulteng, hingga akhir hayatnya. Tempo sendiri menulis sebuah kolom persembahan untuk Husni Alatas, yang diterbitkan dalam edisi 23 April 1977, dengan judul “Mengenang Husni Alatas”.
Dalam kolom persembahan ini, Tempo menilai Husni Alatas sebagai salah seorang contoh yang baik dari seorang koresponden di daerah. Husni disebut mencintai daerahnya, mencintai flora dan fauna di daerahnya, mencintai lereng bukit dan semak di daerahnya, juga mencintai mereka yang hidup di sana, dengan segala problem mereka. Husni disebut banyak berjalan, mendengar, lalu menulis. Dirinya disebut orang yang berbicara halus, seperti banyak mengendapkan gejolak dari hidupnya sendiri dan dari hidup orang di sekitarnya.
Husni juga dilukiskan sebagai sosok yang punya banyak kawan, bahkan pengagum, la bisa mengambil jarak dari mereka yang ditulisnya, dekat tanpa menjadi sekedar humas, jauh tanpa terlanjur menjadi musuh. Husni disebut lebih banyak berbuat untuk daerahnya. Dirinya juga disebut lebih lama bekerja di bidang jurnalistik ketimbang banyak rekannya di majalah Tempo saat itu.
Meregang Nyawa di
Tinombala
Husni sendiri menumpang pesawat naas tersebut bersama istrinya, Rosni Alatas Marunduh. Dalam kecelakaan pesawat tersebut, sebagaimana dokumentasi Tempo yang terbit pada 23 April 1977. Husni Alatas menurut Hasan Tawil, mungkin mengalami patah tulang kaki atau mungkin juga hanya terkilir, sedangkan Rosni mengalami patah lengan. Sesaat setelah pesawat membentur tanah, Hasan Tawil yang duduk di belakang Husni, masih sempat menolong membukakan tali pengikat pinggang koresponden Tempo itu. Bersama beberapa penumpang lainnya, mereka keluar dari pesawat.
“Pada saat itulah Husni terjatuh, karena kakinya tak kuat lagi berdiri” ujar Hasan sebagaimana dinukil Tempo.
Husni Alatas pula bersama pilot Anwar yang menyarankan agar Hasan Tawil dan ko-pilot Masykur segera meninggalkan tempat kecelakaan dan mencari pertolongan terdekat.
Husni Alatas sendiri adalah putera tertua dari A. Alatas, seorang pengusaha di Tolitoli. Kunjungannya ke Tolitoli adalah dalam rangka perjalanan jurnalistik yang diselenggarakan Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah menjelang ulang tahun provinsi ini, 13 April 1977. Isterinya, Rosni Alatas Marunduh, turut serta dengan suaminya, karena sudah kangen dengan sang mertua laki-laki. Adapun ibu Husni, yaitu Nyonya A. Alatas, tinggal bersama beberapa anaknya yang lain di Makassar.
Husni dan Rosni menikah sejak tahun 1967 dan telah dikaruniai seorang puteri, yakni Puteri Any Alatas dan seorang putera Arif Budiman Alatas. Beberapa saat setelah mendengar kedua orang tuanya masih hidup dalam kecelakaan pesawat itu, Puteri Any Alatas menitipkan surat bagi ayah dan ibunya, bersama pakaian dan sejumlah makanan yang disiapkan keluarga Marunduh. Melalui heli, surat dan kiriman itu dijatuhkan beberapa hari lalu di sekitar tempat kecelakaan. Dalam surat itu, Any meminta ketabahan hati kedua orang tuanya, agar tetap hidup dan dapat berkumpul lagi dengan keluarga.
“Any dan Arif selalu menunggu papa dan mama”, tulis Any menutup suratnya.
FOTO: Penyambutan jenazah alm. Husni Alatas di Balai Wartawan Kota Palu, yang kemudian dinamai dengan namanya. FOTO: DOK Datlin Tamalagi/Repro KHST |
Pasca meninggalnya Husni Alatas, penyambutan jenazah dilakukan di Balai Wartawan Kota Palu (kini Sekretariat PWI Sulteng). Untuk mengenang sosok Husni, Balai Wartawan ini kemudian dinamai Balai Wartawan Husni Alatas. ***
0 Comments