Kisah Kruyt Menuju Donggala

 

FOTO: A.C. Kruyt bersama istri dan anaknya. Anaknya yang berdiri di belakang adalah Jan Kruyt yang meneruskan misinya. FOTO: Tropen Museum 

Etnolog sekaligus misionaris, Albert Christiaan Kruyt, dalam perjalanannya dari pedalaman Poso menuju Donggala pada awal tahun 1916, menulis sebuah catatan perjalanan, yang kemudian dimuat dalam Maandbericht Van Het Nederlandsch Zendelinggenootschap atau Pesan Bulanan Dari Masyarakat Misionaris Belanda (NZG), edisi 1 Oktober 1916. Catatan perjalanan ini diberi judul Een reis naar Donggala atau Perjalanan ke Donggala.

Kruyt memulai catatan perjalanan ini dengan menyebut, kado terindah pada perayaan 25 tahun pernikahannya, adalah kabar bahwa putranya, Johannes “Jan” Kruyt, yang akan datang ke Sulawesi pada tahun ini, telah bertunangan. Menurutnya, jika seorang misionaris menemukan istri yang baik, maka hal itu adalah kompensasi untuk banyak kekecewaan dan kesedihan yang dia alami dalam pekerjaan, juga memberi kekuatan berlipat ganda. Oleh karena itu, dirinya tidak terkejut jika Bala Keselamatan dan sejumlah Lembaga Misi Inggris dan Amerika, memasukkan istri misionaris di antara para pekerja mereka.

Namun menurut Kruyt, kabar bahagia ini mengharuskannya untuk melakukan perjalanan ke Donggala, ibu kota Afdeeling Midden Celebes. Kata dia, untuk perkawinan anaknya, diperlukan akta notaris, di mana Kruyt bersama istrinya memberikan izin untuk masuk ke dalam serikat itu.

Notaris sendiri kata dia, tidak akan ditemukan di luar ibu kota. Namun, mengingat jarak yang sangat jauh di Hindia Belanda, pemerintah telah membuat ketentuan, para kepala afdeeling, jika mereka adalah Asisten Residen, juga memenuhi fungsi notaris. Bagi Kruyt, Donggala adalah tujuan terdekat untuk mengakses notaris.

Kruyt mengatakan, sudah menjadi keluhan umum, bahwa dokumen notaris yang berasal dari Hindia Belanda, biasanya dikritik di Belanda. Dirinya juga pernah mengalami hal ini, di mana pihak pemerintah di Nijmegen, menolak mengakui pernikahannya. Keputusan Pengadilan Distrik diperlukan untuk menertibkan masalah itu, setelah itu semuanya bisa berjalan seperti biasa.

Kruyt menulis, dirinya ingin segera berangkat ke Donggala, tetapi Natal sudah dekat. Dirinya berpikir, jika ia pergi, perayaan Natal tidak dapat dilanjutkan, dan kali ini, persiapan besar telah dilakukan untuk mempersiapkan perayaan Natal. Jadi, dirinya akan berangkat ke Poso, dan sampai pada malam tahun baru. Dari sana, dia akan melanjutkan perjalanan ke Donggala.

Kruyt menceritakan, di Poso, dirinya menjadi tamu keluarga Kontrolir. Kruyt dalam catatan tersebut mengaku, dirinya tidak pernah mengunjungi pesisir Poso selama dua tahun, dan karena itu, dirinya tidak terkejut melihat banyak ekspresi wajah aneh di antara orang-orang Kristen pribumi di gereja pada Hari Tahun Baru. Dirinya juga bisa melihat bagaimana orang-orang bertanya di antara mereka sendiri, tentang orang Eropa yang menghadiri kebaktian. Namun menurutnya, banyak masyarakat asli di Poso, tinggal di sana hanya untuk waktu yang singkat.

Kruyt menjelaskan, untuk sampai ke Donggala, seseorang harus terlebih dahulu melakukan perjalanan laut ke sebuah tempat bernama Toboli. Jika perjalanan menggunakan kapal layar, akan memakan waktu paling lama dua hari, tetapi dengan kapal uap, akan memakan waktu 9 jam. Sebuah kapal uap kecil kata Kruyt ditempatkan di Poso, yang dengannya Kontrolir mengunjungi pulau-pulau di onder afdeeling-nya dan tempat-tempat yang terletak di pantai di wilayahnya. Karena kapal ini akan menuju ke arah Toboli, Kruyt diberi izin untuk melakukan perjalanan menumpang kapal itu.

Kruyt akan berangkat pada 2 Januari 1916, dan hal ini sudah dikomunikasikan kepada Asisten Residen, yang meminta dirinya untuk tinggal di Donggala. Tetapi karena kapten kapal tidak sehat, keberangkatan harus ditunda selama satu hari. Karena keterlambatan ini, Kruyt bisa tampil untuk jemaat pada hari itu, yang bertepatan dengan hari Minggu.

Kruyt mengatakan, banyak yang telah berubah di Poso, sejak dirinya pertama kali menginjakkan kaki di sana. Ketika ia melihat ke atas dari beranda depan rumah Kontrolir Poso, terlihat pohon-pohon yang megah, yang dulu ditanam olehnya dan N. Adriani. Kruyt mengisahkan hal itu kepada putra Kontrolir, yang berusia tujuh tahun, yang datang berbicara dengannya.

Kruyt kemudian melakukan perjalanan melalui laut menuju Toboli, dengan Kontrolir Parigi, Wigman. Dalam perjalanan, Kruyt berpikir betapa kecilnya Belanda, karena dirinya yang datang dari pedalaman Hindia Belanda, bertemu kenalan atau orang yang memiliki kenalan di antara kenalannya. Kotrolir Wigman kata dia, tampaknya sangat mengenal keluarga Pdt. Heesen di Leeuwarden. Keakraban ini membuat perjalanan laut itu terasa sangat singkat baginya, karena percakapan yang menyenangkan tentang Belanda dan teman-teman Belanda.

Tiba di Toboli, Kruyt menetap di rumah yang dibangun di sana oleh orang-orang, untuk pelancong yang lewat. Hal pertama yang dia lakukan adalah mencari empat porter untuk membawa barang-barangnya keesokan harinya. Dari Toboli kata dia, sebuah jalan melintasi lengan panjang utara Sulawesi, yang ujungnya adalah Minahasa. Jalan yang panjangnya 45 km itu, berakhir di Tawaili, yang berseberangan dengan Donggala, di Teluk Palu. Dari Tawaili, hanya perlu menyeberangi teluk itu untuk sampai ke Donggala.

Di Toboli kata Kruyt, seseorang dapat menyewa kuda, tetapi hewan ini kata dia, dirancang untuk pria dengan ukuran tubuh sedang. Kuda yang kadang-kadang ia sewa selama tinggal di Hindia, tidak pernah memberinya kemudahan. Setelah menunggangi beberapa mil, kuda yang ditunggangi terus menunjukkan tanda-tanda kelelahan, yang memaksanya untuk turun dan terus menariknya. Belajar dari pengalaman ini, Kruyt tidak menyewa kuda dan melakukan perjalanan dengan berjalan kaki. Kata dia, seseorang tidak akan merasa lelah ketika menikmati pemandangan indah Teluk Palu yang terhampar di depannya, hampir terus menerus.

Sesampainya di Tawaili, dirinya langsung menyadari dampak buruk dari penundaan keberangkatan dari Poso. Pemimpin setempat memberitahunya bahwa Asisten Residen telah mengatur perahu motor untuk membawanya melintasi teluk. Perahu kecil ini telah menunggunya sehari sebelumnya, tetapi akhirnya kembali ke Donggala pada malam hari. Kruyt kemudian menyeberang dengan perahu milik masyarakat.

Dalam catatannya, Kruyt mengatakan tidak akan menceritakan apa-apa tentang kisahnya saat tinggal di Donggala. Di sana, ia adalah tamu dari keluarga Asisten Residen, yakni Tuan dan Nyonya Grays, yang menurutnya sangat baik kepadanya. Setelah menghabiskan dua hari di sana, dirinya memulai perjalanan pulang.

Menurut Kruyt, perjalanannya ke Donggala, tentu saja akan menimbulkan pembicaraan dari masyarakat lokal, terkait apa yang sebenarnya akan ia lakukan di sana dengan Asisten Residen. Kruyt mencoba menjelaskan kepada mereka apa tujuannya dengan menulis surat, untuk memberitahukan tujuannya agar anaknya bisa menikah. Namun ia menyadari, tidak ada satu pun masyarakat yang percaya cerita ini. Menurut mereka, anda tidak perlu Asisten Residen untuk memberi tahu bahwa putra anda boleh menikah.

Papa I Dorontji kata Kruyt mengatakan ini, tetapi untuk menyembunyikan alasan sebenarnya di baliknya. Setahun yang lalu kata Kruyt, ada larangan umum menangkap ikan dengan racun. Atas permintaan penduduk, Kruyt kemudian memohon kepada Dewan untuk satu pengecualian terhadap larangan umum ini. Masalah ini memakan waktu lama, tetapi beberapa hari setelah ia kembali, para pemimpin mengumumkan kepada masyarakat, bahwa pengecualian diizinkan.

Dengan keluarnya izin ini, kemudian di masyarakat Poso, misteri perjalanan Kruyt terpecahkan, bahwa ia berangkat ke Donggala untuk memohon kepada Asisten Residen, untuk diizinkan memancing dengan racun, dalam keadaan tertentu, dan ia mendapat izin itu.

Post a Comment

0 Comments