FOTO: Salah seorang warga sedang menyerahkan zakat. FOTO: KIRIMAN UTARI |
Seminggu atau lima hari jelang Hari Raya Idul Fitri, mulai terlihat aktivitas masyarakat yang menyerahkan zakat fitrahnya kepada pengurus masjid, untuk disalurkan kepada asnaf, atau golongan yang berhak menerima zakat. Namun bagi sebagian masyarakat suku Kaili, ada tata cara tersendiri dalam hal penyerahan zakat.
Sebagian masyarakat Suku Kaili percaya, menyerahkan zakat fitrah kepada orang yang tepat untuk menyalurkan, biasanya akan mendatangkan rejeki dan berbagai kemudahan, setahun kedepannya. Mereka juga percaya, jika menyerahkan kepada orang yang tidak cocok, bisa menyebabkan musibah seperti sakit, atau rezekinya sempit.
Seperti yang dilakukan Rugaiyah (50), warga Kelurahan Palupi, Kecamatan Tatanga, Kota Palu, saat momen Ramadan setahun silam. Dirinya sibuk menakar beras ke dalam kaleng liter, sesuai takaran zakat fitrah yang disampaikan oleh pemerintah. Takaran beras yang dimasukkannya ke dalam karung, sesuai dengan jumlah anggota keluarganya, yakni lima orang.
Dengan memikul karung berisi beras yang telah ditakarnya, Rugaiyah bersama saudaranya, mendatangi rumah kerabatnya, Adam Lahidi, yang setiap tahunnya menjadi orang yang menerima zakat dari keluarganya, untuk kemudian disalurkan kepada pihak yang menerima. Saat zakat diserahkan, Rugaiyah menyerahkan pula daftar nama anggota keluarganya, untuk didoakan oleh si penerima zakat. Terdengar rapalan doa dari mulut Adam, sembari menerima zakat dari Rugaiyah.
Adam Lahidi telah beberapa tahun terakhir menjadi tempat bagi Rugaiyah, untuk menyerahkan zakat fitrah keluarganya, sejak Adam menjadi imam masjid di dekat kediamannya, 2013 lalu. Adam sendiri memang seringkali dipercaya oleh masyarakat yang hendak menyalurkan zakat fitrahnya.
Rugaiyah menjelaskan, proses penyerahan zakat dengan cara tersebut, sudah dilakukan secara turun temurun di wilayahnya di Kelurahan Palupi, Kecamatan Tatanga, Kota Palu. Dalam ingatannya saat masih berusia kanak-kanak, pada tahun 1970-an, proses penerimaan zakat dilakukan dengan membawa zakat fitrah berupa beras, ke rumah orang yang menyalurkan, lalu setelah proses penyerahan selesai, zakat tersebut kemudian dibawa ke masjid untuk kemudian disalurkan. Penyerahannya pun dilakukan dalam rentang waktu seminggu terakhir Ramadan, pada malam-malam ganjil.
Lanjut Rugaiyah, beberapa tahun belakangan proses penyerahan mengalami perubahan. Zakat fitrah dibawa langsung ke masjid dan badan amil zakat siap menunggu di masjid. Dalam proses ini sendiri, muzzaki atau pembawa zakat, menyiapkan zakatnya dan membawanya ke masjid, untuk didoakan oleh petugas atau amil zakat. Setelah didoakan barulah dikumpulkan di masjid, lalu kemudian disalurkan.
Tradisi mengantarkan zakat ke rumah orang yang menyalurkan zakat untuk didoakan, sampai saat ini masih dilakukan oleh sejumlah keluarga yang masih menyakininya, termasuk keluarga Rugaiyah. Salah seorang penyalur zakat di Kelurahan Palupi yang juga masih kerabat Rugaiyah, Adam Lahidi mengatakan, doa yang dibacakan saat menerima zakat dari orang yang menyerahkan zakat adalah doa selamat, agar dimurahkan rezeki, serta dipanjangkan umur.
Selain di wilayah Palupi, sebagian masyarakat suku Kaili di wilayah lainnya, juga masih meyakini tradisi serupa. Warga Kelurahan Baiya, Kecamatan Tawaeli, Darsan (65) misalnya mengatakan, dirinya sampai saat ini masih meyakini hal tersebut. Setiap tahunnya, dirinya menyerahkan zakat kepada mereka yang dianggap cocok sebagai tempat menyalurkan zakatnya.
“Biasanya kita tes dulu, kalau dirasa setahun setelahnya, baik kesehatan maupun rejeki bagus, maka untuk tahun setelahnya, tetap disalurkan melalui orang tersebut. Ini telah berlangsung turun temurun,” ujarnya.
Pitara: Zakat Fitrah di Masa Lalu
Tradisi menyalurkan zakat fitrah ini, telah dilakukan sejak dahulu. Ahli bahasa berkebangsaan Belanda, Nicolaus Adriani dan etnolog berkebangsaan Belanda, Albertus Christiaan Kruyt, dalam De Bare'e-sprekende Toradja's van Midden-Celebes yang dipublikasikan pada tahun 1912, menuliskan pengamatan mereka terhadap apa yang dilakukan masyarakat di selatan Teluk Tomini dalam momen Ramadan, termasuk tradisi menunaikan zakat fitrah.
Keduanya menulis, pada hari ke-29 Ramadan, masyarakat menunaikan zakat fitrah, yang dalam bahasa lokal disebut Pitara. Pitara terdiri dari beras atau uang, atau keduanya.
Masing-masing membawa Pitara-nya, baik kepada guru atau tempatnya belajar membaca Alquran, atau ke Kali (Kadi), ke Ima (Imam), atau ke Katibi (Khatib). Pitara ini selalu jauh lebih sedikit dari jumlah yang ditentukan, misalnya ketika uang dibawa untuk membeli beras yang disebut dari guru, tidak pernah berjumlah lebih dari 30 sen, kurang dari sepuluh sen. Di Parigi, orang biasanya memberi 1 Kati atau 600 gram beras, kemudian sirih, pinang, dan tembakau.
Saat mengantarkan Pitara, masyarakat mengenakan pakaian bagus. Saat mengantarkan Pitara, pihak yang mengantarkan, mengambil posisi duduk kemudian berkata "Terima Pitara kami."
Sang guru atau Katibi kemudian mengambil piring tembaga (dulang), yang ditutupi dengan kapas putih dan ditempatkan di depan pengantar Pitara. Pitara biasanya ditempatkan di dulang, dengan lilin yang menyala diletakkan di sisinya. Kemudian guru mengambil segenggam beras, menghirup baunya, dan menggumamkan doa. Dia kemudian mengangkat tangan ke atas seraya berdoa, diikuti oleh si pengantar Pitara. Setelah ini, keduanya berjabat tangan, di mana tangan ditutupi dengan kain sutra atau katun. Akhirnya, para pengantar Pitara memberi guru beberapa sirih dan pinang, yang dengannya, upacara penerimaan pitrah telah berakhir dan para pengantar Pitara kembali ke rumah.
Pitrah sepenuhnya untuk kepentingan orang yang menerimanya. Adriani dan Kruyt beberapa kali mendengar keluhan tentang penerapan Pitara, terutama ketika wilayah-wilayah di Selatan Teluk Tomini yang sudah miskin, dilanda kelaparan. Namun, jarang berani mengabaikan Pitara ini.
Mereka berkata, "Jika kita tidak memberikan Pitara, guru mengatakan, kami tidak akan menerima berkah dari Ala Ta'ala (Allah) dan jika kita memberi terlalu sedikit, mereka tidak akan menerimanya.''
Mensucikan Jiwa
Ibnu Manzur, dalam Lisan al-Arab menjelaskan, secara bahasa, zakat berasal dari kata " الزكاة – يزكى – زكى "yang berarti suci, tumbuh, berkah, dan terpuji. Sementara itu, Hasbi Ash-Shiddieqy dalam buku Pedoman Zakat menulis, zakat menurut bahasa berarti nam ̅‟ (kesuburan), thah ̅rah (kesucian), barakah (keberkahan), dan juga tazkiyahtathh ̅r (mensucikan).
Kemudian, Husein Al-Habsyi dalam Kamus Al-Kautsar mengemukakan, zakat berarti tumbuh bertambah, berkembang. Jadi zakat menurut bahasa, dapat diartikan bahwa harta yang telah dikeluarkan zakatnya akan menjadi suci, tumbuh, berkah, terpuji, subur, bertambah dan berkembang.
Warson Munawwir dalam Kamus al-Munawwir Arab Indonesia menulis, pengertian zakat fitrah menurut bahasa berasal dari fi‟il madhi, yakni fatara yang berarti menjadikan, membuat, mengadakan, dan bisa berarti berbuka dan makan pagi. Selanjutya, Rian Hidayat El-Bantany dalam Kamus Pengetahun Islam Lengkap menjelaskan, fitrah berarti membuka atau menguak, bersih dan suci, asal kejadian, keadaan yang suci dan kembali ke asal, naluri semula manusia yang mengakui adanya Allah SWT sebagai pencipta alam.
Dari sini dapat disimpulkan, zakat fitrah adalah zakat yang dikeluarkan oleh seorang muslim dari sebagian hartanya kepada orang-orang yang membutuhkan untuk mensucikan jiwanya serta menambal kekurangan- kekurangan yang terdapat pada puasanya seperti perkataan yang kotor dan perbuatan yang tidak ada gunanya, sebagaimana ditulis Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, dalam Fiqh Ibadah.
Zakat fitrah disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah, yaitu tahun diwajibkannya puasa Ramadhan. Zakat fitrah wajib ditunaikan oleh setiap orang muslim yang merdeka, yang mampu mengeluarkannya pada waktunya.
Hikmah disyariatkannya zakat fitrah adalah sebagaimana riwayat Ibnu Abbas, Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah sebagai penyucian bagi orang yang berpuasa dari hal yang sia-sia, omongan yang tidak perlu, dan sebagai bantuan makanan bagi orang-orang miskin. Siapa yang menunaikannya sebelum salat (Id), itu merupakan zakat yang diterima. Siapa yang menunaikannya setelah salat, itu merupakan sedekah biasa.” (HR. Abu Dawud).
Sesuai hadits di atas zakat fitrah mempunyai beberapa hikmah yaitu: Pertama, untuk membersihkan jiwa orang yang berpuasa dari segala sesuatu yang mengotorinya seperti perbuatan sia-sia, perbuatan keji, dan segala amalan yang mengurangi nilai puasa Ramadan. Kedua, untuk membantu meringankan beban orang-orang fakir dan miskin, sehingga hal itu bisa mencegah mereka melakukan perbuatan meminta-minta pada hari raya. Ketiga, untuk memberikan rasa suka cita kepada orang-orang fakir dan miskin supaya mereka turut merasakan kegembiraan di hari raya.
Terlepas dari apapun tradisi yang kita yakini dalam menyalurkan zakat fitrah, satu hal yang harus dipegang, yakni zakat fitrah yang kita keluarkan adalah untuk mensucikan diri menjadi kembali bersih atau fitrah setelah Ramadan, serta dengan niatan untuk berbagi suka cita hari raya dengan saudara kita sesama muslim yang kurang beruntung. ***
0 Comments