Sekelumit Memori (tentang) Terminal Besusu

 

FOTO: Lokasi di sekitara Jalan Ki Maja Palu, yang dahulu menjadi lokasi Terminal Besusu. FOTO: GOOGLE MAPS


Oleh: Reza Aditama

Membaca surat permintaan Raja Palu, tentang keinginan (nya) menjadikan Kota Palu sebagai pusat (provinsi) Sulawesi Tengah (Sulteng), pasca penyerahan kedaulatan Belanda pada Indonesia, 27 Desember 1949, telah menambah kemelut Palu sebagai sebuah kota. Terminal yang berada di daerah Besusu ini salah satu contoh dari kemelut kota tersebut. Bagaimana tidak, hadirnya Terminal Besusu ini juga dapat dilihat dari rekam jejak hadirnya Pasar Besusu, yang hadir oleh adanya instruksi pemerintah daerah, yang ingin merelokasi para pedagang Pasar Bambaru (Pasar Tua) yang telah ada sejak 1900-an ke Pasar Inpres Manonda, yang berdiri pada 1970an, dengan alasan pengembangan kota.

Berdirinya Pasar Inpres Manonda sendiri, membuat sebagian pedagang Pasar Bambaru yang menolak pindah, kemudian menyingkir ke arah timur Pasar Bambaru (lokasi sekarang di Jalan Ki Maja), yang kemudian membentuk sebuah pasar baru, yang disebut Pasar Besusu. Sebuah hal menarik terlihat dari memori kolektif masyarakat Besusu, di mana dalam ingatan tentang sebuah pasar, juga terdapat ingatan tentang terminal, yang juga bernama sama seperti nama daerah tersebut yaitu Terminal Besusu, yang hampir terlupakan karena usianya yang begitu singkat.

Terminal Besusu sendiri berdiri pada pertengahan 1970-an. Salah seorang supir yang pernah mangkal di terminal tersebut, Baharudin (76) mengatakan, pada 1976, terminal tersebut mulai beroperasi, di mana mobil-mobil yang singgah di terminal tersebut, setiap harinya mengangkut penumpang dengan rute dalam maupun luar kota, terutama yang hendak pergi atau pulang dari Pasar Besusu. Adapun jalur atau trayek yang ditempuh mobil-mobil di terminal tersebut, mulai dari Pantai Barat di utara Kabupaten Donggala, hingga wilayah Pakuli, Sibalaya, hingga Bangga, di wilayah Sigi.

Mobil yang beroperasi di terminal tersebut, merupakan mobil-mobil yang sebelumnya mangkal di Terminal Istana (lokasi saat ini Jalan Imam Bonjol depan CV. Akai Jaya Motor). Nama terminal tersebut, diambil dari nama bioskop yang berdiri persis di simpang empat Jalan Imam Bonjol (dulu Jalan Tondate Dayo) dan Jalan SIS Aljufri (dulu Jalan Idjazah).

Darsan (64), salah seorang mantan sopir yang dulu beroperasi di Terminal Besusu mengungkapkan, mobil-mobil yang beroperasi di terminal tersebut, rata-rata model minibus seperti Toyota HiAce H10 generasi pertama, antara tahun 1967-1977. Darsan menjelaskan, hadirnya Terminal Besusu, salah satunya disebabkan oleh trayek Terminal Istana hanya melayani rute Palu-Donggala saja. Akhirnya, mobil-mobil dengan trayek Pantai Barat, Pakuli, Sibalaya, dan Bangga, pindah ke Terminal Besusu.

Alasan lain yang menyebabkan pindahnya para sopir tersebut yaitu faktor geografis. Darsan menceritakan, para sopir mobil trayek Pantai Barat, terpaksa pindah, karena jika hendak ke wilayah Palu Barat, harus menyebrangi Jembatan Palu I, yang saat itu kapasitasnya hanya mampu dilewati satu mobil, dan harus dilewati bergantian ketika ada mobil dari arah berlawanan.

Darsan juga menceritakan, sebagian sopir lebih memilih trayek ke arah Sigi daripada ke arah Pantai Barat. Alasannya kata dia, adalah akses jalan saat itu yang masih sangat sulit. Darsan menceritakan, saat itu, jalan menuju wilayah Pantai Barat belum semulus saat ini. Jalan yang ada adalah jalan berdebu dan berlumpur, yang merupakan jalur jalan yang dibuka oleh perusahaan kayu. Adapun jalur jalan ke wilayah Sigi, seperti Pakuli, Sibalaya dan Bangga, saat itu relatif lebih bagus dan lebih dekat.

“Kalau ke arah Pantai Barat, biasanya cuma bisa satu ritase (ret) atau satu kali angkut saja, belum lagi resiko mobil tertanam di lumpur. Kalau ke Pakuli, Sibalaya, atau Bangga, agak bagus jalan, baru bias sampai dua ritase (ret), dalam sehari,” ujarnya.    

Dari Parkir Liar ke Terminal

Terminal Besusu sendiri pada awalnya hanyalah kumpulan mobil yang parkir pada bahu jalan, di sebelah timur Pasar Besusu (lokasi saat ini simpang empat Jalan Ki Maja), yang turut hadir karena adanya Pasar Besusu. Kemudian, petugas LLAJR (Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya) membuka sebuah pos pemungutan retribusi transportasi, yang hanya ditujukan kepada mobil yang memiliki trayek luar kota, dengan tarif Rp5 sekali jalan. Hal ini juga dilakukan agar dapat mengontrol mobil-mobil yang hanya sekedar parkir, dan yang masuk mencari penumpang dalam kota, juga yang hendak berangkat dari pasar tersebut.

Namun selain menghasilkan pendapatan bagi supir dan untuk daerah, Terminal ini juga kerap menghasilkan beberapa konflik kecil, yang disebabkan perebutan penumpang antar supir, masalah retribusi antar petugas LLAJR dan supir, hingga antara supir dengan warga sekitar, karena keramaian di sekitar pasar dan terminal tersebut, dianggap menggangu warga yang hendak beribadah di Masjid Al Hidayah yang terletak di seberang jalan. Jemaah masjid tersebut diceritakan, merasa terganggu oleh teriakan supir-supir yang mencari penumpang, hingga pada saat ibadah seperti salat Jumat berlangsung.

Eksistensi terminal ini tidaklah bertahan lama. Hanya berselang beberapa tahun saja, terminal ini sudah tutup. Tokoh masyarakat di Kelurahan Besusu Barat, Makmur Dg Sau mengatakan, pada awal 1980-an pasar sudah sangat sepi dan terminal sudah tidak ada. Makmur sendiri ada saat itu merupakan salah satu pedagang di Pasar Besusu. Pasar tersebut kata dia, sepi dan berangsur tutup, karena pedagang-pedagang yang membentuk Pasar Besusu, mulai menerima kebijakan relokasi, karena pasar tujuan relokasi yang sudah berangsur ramai.

Merawat Ingatan (tentang) Terminal Besusu

Ingatan masyarakat tentang masa lalu seringkali menjadi hal yang menarik untuk ditelaah. Ingatan (baca: memori) tersebut adalah hasil “pembacaan” masyarakat terhadap suatu momen atau peristiwa. Untuk mengkaji lebih jauh mengenai ingatan sosial yang yang terdapat di masyarakat, dibutuhkan sebuah pendekatan. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah politik memori. Politisasi memori dapat dilihat dari adanya simbolisasi sebuah moment, peristiwa, atau tokoh dengan wujud kebendaan, pola pewarisan memori, mengingat dan melupakan, dan pematahan ingatan. 

Satu hal yang tidak diketahui oleh banyak orang, bahwa setiap pembangunan atau penamaan sebuah simbol difungsikan untuk mengingat peristiwa, atau tokoh yang memiliki pengaruh yang luas di daerah tersebut. Namun, pada akhirnya, peristiwa-peristiwa dan tokoh-tokoh penting  di sekitar peristiwa atau tokoh utama menjadi tidak tersampaikan. 

Persoalan ingatan merupakan persoalan pokok dalam konsepsi politik memori. Dalam pembacaan peristiwa atau ketokohan, ada ingatan yang terbelah, karena pada saat yang bersamaan, orang akan mengingat dan melupakan sesuatu tanpa disengaja. 

Sejarah lokal Sulawesi Tengah sebagai sebuah manifestasi dari ingatan masyarakat mengenai peristiwa dan tokoh, belum sepenuhnya menghadirkan masa lalu sebagai suatu kesatuan yang utuh. Hal tersebut dipengaruhi oleh pola pewarisan ingatan yang berkembang di masyarakatnya. Budaya bertutur yang berkembang di Sulawesi Tengah menjadi sebuah alasan mengapa sejarah lokal Sulawesi Tengah masih sulit untuk menjadi satu kesatuan yang utuh. Belum ada penulisan secara menyeluruh tentang konteks kelokalan Sulawesi Tengah tersebut. 

Tuturan-tuturan yang ada belum sepenuhnya berubah menjadi bahasa tulis. Keyakinan yang paling mendasar akan pentingnya tuturan diubah menjadi bahasa tulis adalah bahwa tulisan lebih lama untuk dinikmati, daripada tuturan. Tuturan biasanya berakhir bersama dengan penuturnya. Olehnya itu, tuturan perlu dituliskan oleh para penulis dari disiplin ilmu manapun.

Terminal Besusu merupakan salah satu memori yang mengendap dalam ingatan masyarakat, tidak hanya di Besusu, tapi mereka yang pernah mengakses dan bersentuhan dengan terminal yang beroperasi pada akhir tahun 1970-an ini. Namun, memori tentang terminal ini, sebagian tereduksi oleh memori tentang hadirnya Pasar Besusu, juga narasi sejarah lainnya tentang Besusu yang lebih banyak dibahas, seperti sejarah masa kerajaan. Memori tentang Terminal Besusu, adalah memori tentang kemelut dalam perjalanan pembangunan sebuah kota, di mana kebijakan pembangunan, tidak selalu sejalan dengan keinginan masyarakat. Sayangnya, ingatan ini tidak lagi digali, dan ceritanya mengendap bersama dengan laju perkembangan kota, dan tidak adanya keinginan untuk menuliskan memori tersebut.

Post a Comment

0 Comments