Membicarakan tentang migrasi di
Lembah Palu, lebih kepada membicarakan tentang asal mula hubungan kekerabatan
di Lembah Palu. Jalur migrasi ini pula dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti
perang, mencari lahan yang lebih subur, program pemerintah kolonial, hingga
disebabkan wabah penyakit atau bencana.
Temuan paling tua tentang migrasi
di kawasan lembah Palu, dimulai dengan penemuan sentra pembuatan gerabah di
wilayah Duyu, oleh Arkeolog Museum Negeri Sulteng, Iksam. Jejak pemukiman tua
di kawasan Duyu, terletak sekitar satu kilometer di bawah Stadion Gawalise.
Pemukiman tua itu dulunya dihuni
oleh penduduk yang bermigrasi dari punggungan Gunung Ulayo (Loeaio). Mereka
bermigrasi untuk mencari lokasi hunian yang lebih landai. Penduduk Kaili di
masa lalu, kata Iksam, cenderung tidak bermukim di kawasan yang curam atau
terjal di Duyu. Mereka cenderung memilih lahan yang lebih landai dan rata,
meskipun letaknya di punggungan bukit atau pegunungan.
Menurut Iksam, perkampungan tua
tersebut menjadi sentra pembuatan gerabah. Ini menjadi ciri peradaban atau
tradisi Megalitik muda, yang mulai berkembang pada sekitar abad 9 Masehi. Kawasan
perkampungan tua tersebut, kata dia, diplih sebagai lokasi tujuan migrasi dari
pegunungan, karena dinilai relatif lebih aman dari lokasi lainnya di Duyu.
Sebab lokasi tersebut terletak di antara dua aliran sungai dan terletak di
antara dua segmen sesar. Sesar tersebut melewati kawasan Pengawu di sebelah
timur dan di punggung perbukitan sebelah barat Duyu.
Etnografer asal Swedia, Walter
Kaurdern dalam bukunya Ethnographical Studies in Celebes vol 2: Migrations of
the Toradja in Central Celebes, menuliskan, pejabat Kontroliur Palu antara
tahun 1907-1909, Hissink, dalam catatannya Nota van toelichting betreffende de
zelfbesturende landschappen Paloe, Dolo, Sigi en Beromaroe yang terbit tahun
1912, menyebut, saat itu, ada empat suku yang tinggal di Lembah Palu, yakni To
Palu, To Biromaru, To Sigi, dan To Dolo. To Palu menghuni bagian utara lembah,
di sisi Sungai Palu. To Biromaru dan To Sigi tinggal di sebelah selatan wilayah
To Palu, di tepi kanan sungai Palu, dengan pengecualian area kecil di utara Sungai
Wuno, yang merupakan tempat To Dolo tinggal, kemudian To Dolo tinggal di
selatan Palu, di tepi kiri sungai Palu.
Hissink juga mencatat, dari
penduduk asli yang tinggal di lereng gunung timur lembah Palu menyebutkan, di
pegunungan, bersebelahan dengan lembah, orang-orang secara alami meninggalkan
tempat tinggalnya dan yang lainnya dievakuasi. Populasi yang tertinggal, kini
sangat sedikit, dan umumnya disebut oleh To ri Lare (orang yang mendiami
kawasan punggungan gunung) oleh penduduk lembah.
Di samping To ri Lare ini yang
hidup di lereng gunung di tepi timur Sungai Palu, ada penduduk asli lainnya
yang tidak memiliki hubungan dekat dengan empat entitas yang tinggal di lembah,
seperti penduduk Petimbe, di Palolo, yang merupakan keturunan To Balinggi dari
Tana Boa di Teluk Tomini atau mungkin To Pebato, suku yang tinggal di Sungai Puna
bagian bawah.
Kaurdern juga menuliskan, Lebih
jauh ke utara, di timur Sungai Palu, ada juga sebuah distrik kecil bernama
Lalanggonaoe atau Raranggonau, yang penduduknya menurut Hissink, berasal dari
Dolago di Teluk Tomini. Hissink menuliskan, ada sebuah desa besar di Dolago,
yang disebut Korentu'a, dibakar habis akibat perang. Dalam pertempuran ini,
sejumlah besar orang Parigi terbunuh dan diusir. Jadi Toramengganau
(Raranggonau), yang sekarang tinggal di pegunungan sebelah timur Biromaru,
berasal dari Dolago.
Lanjut Kaurdern, di samping entitas
yang disebutkan oleh Hissink, ada entitas lain yang tinggal di bagian paling
selatan lembah, di sekitar mulut Sungai Gumbasa, Miu, dan Sakuri. Dalam sudut
yang dibentuk oleh Sungai Gumbasa dan Miu, didiami To Pakuli, dan di barat
bagian bawah Sungai Miu di mana Sungai Sakuri bermuara di Miu ada distrik
Bangga, di mana penduduk yang berbicara bahasa yang sama dengan To Pakoeli.
Menurut Kaurdern, Hissink dalam
klasifikasinya tentang suku-suku di lembah Palu, mengutamakan sudut pandang
letak administratif atau lokasi geografis. Berbeda dengan ahli linguistik, N
Adriani yang membagi klasifikasi suku-suku di lembah Palu berdasarkan aspek
linguistik.
Menurut Adriani, hanya ada tiga
bahasa asli di Lembah Palu, yakni adalah bahasa Palu atau Ledo, dan dialeknya
Dori, bahasa Sigi atau Idja, dan bahasa Pakuli atau Ado dengan dialek bernama
Edo. Dari keterangan ini, Kaurdern menyimpulkan, Ledo digunakan oleh To Palu
dan To Biromaru, Idja oleh To Sigi dan To Dolo, Ado oleh To Pakuli, To Bangga
dan To Sibalaya. Adapun To Sidondo berbicara dengan dialek Ado yang disebut Edo,
sedangkan dialek Dori dituturkan oleh sekitar 1800 penduduk asli yang tinggal
di timur Teluk Palu.
Kemudian, terkait proses migrasi,
pola migrasi penduduk le lembah Palu dilakukan secara bertahap, turun dari
gunung ke lembah. Di lembah Palu, Hissink yang di masa itu menjabat sebagai
Kontroliur Palu, mendengar sejumlah cerita menarik tentang kisah perang antar
entitas di lembah Palu di masa lalu dan pergeseran pemukiman mereka pasca
perang tersebut.
Penduduk wilayah Palu,
sebagaimana ditulis oleh Hissink, tinggal di pegunungan sebelah timur lembah
Palu. Di sini mereka memiliki pemukiman besar yang disebut Volo Vatu Palu. Volo
Vatu Palu adalah sejenis bambu kecil, yang tumbuhnya merunduk. Hissink
memperkirakan, leluhur To Palu dan To Biromaru berasal dari wilayah yang sama yang
berpisah saat migrasi. Penyebab berpisahnya kelompok migrasi ini tidak
diketahui, tetapi pada akhir abad ke-17, Francois Valentijn dalam karyanya Oud
en Nieuw Oost-Indien pada 1724, telah menyebutkan Palu dan Biromaru.
Kemudian, terkait migrasi To Sigi
dan To Dolo, Kaurdern mengutip catatan perjalanan Kruijt dan Adriani di Sigi
tahun 1897. Kaurdern menduga To Sigi dan To Dolo berasal dari entitas yang
sama.
Mengutip Hissink, pemukiman awal
To Sigi terletak di pegunungan sebelah utara Danau Lindu. Permukiman yang
teridentifikasi adalah kampung Lewoe (Lewu), Silonga, Wololaoe (Wululau), Oee
Malei (Uwe Malei) dan Sigi Poeloe (Sigi Pulu). Lebih ke utara, To Dolo tinggal
di Dolo, Maro, dan Pompewajo. Dari catatan ini, kaurdern memperkirakan, wilayah
Sigi yang disebutkan di atas, seharusnya terletak di wilayah Palolo atau di
sekitarnya, sedangkan kawasan Dolo di wilayah Sigi saat ini.
Menurut Hissink, To Sigi dan To
Dolo tampaknya di masa lalu telah bertarung dengan sengit. Suatu ketika To Dolo
dihina oleh To Sigi, demikian menurut Hissink, yang menyulut perang melawan To
Sigi. Dalam perang ini To Dolo muncul sebagai pemenang. Tetapi To Sigi
memutuskan untuk membalas dendam dengan mengerahkan serangan penuh dengan
bantuan aliansinya yakni To Kulawi, To Benahu, To Bada, To Napu, To Behoa, dan
To Tawaelia. To Dolo kemudian berhasil dikalahkan dan terusir dari wilayahnya.
Hissink menulis, To Dolo tidak
dapat mengatasi bencana ini, di mana desa-desa mereka dibakar dan mereka
melarikan diri ke arah barat, di mana mereka mendirikan pemukiman baru di bukit
Pandjopolaki. Mereka diusir oleh To Sigi dengan cara ini hingga tujuh kali.
Dalam pelariannya, To Dolo kemudian tiba di mulut Sungai Wuno, tempat mereka
mendirikan kampung yang sekarang, yakni Kota Rindau. Dari sini mereka menyebar
ke Kota ri Pulu, Sibonu, Pewunu, Kaleke dan Pesakoe. Di saat bersamaan, To Sigi
juga telah bermigrasi di tempat tinggal mereka saat ini.
Proses migrasi ke lembah itu tidak diketahui,
tetapi Valentijn, ketika berbicara tentang Palu dan Biromaru juga menyebutkan
Sigi serta Dolo, sebagai wilayah yang independen. Dari hal ini dapat ditarik
kesimpulan, To Sigi dan To Dolo bermigrasi ke lembah pada abad ke-16 atau pada
awal abad ke-17. JEF
0 Comments