Cerita Listrik di Midden Celebes

 

FOTO: Nederlandsche Indische Gas Maatschappij (NIGM).
SUMBER: Leiden University Libraries

Tenaga listrik diperkirakan masuk ke wilayah Sulawesi bagian Tengah, setelah tahun 1937. Hal ini mengacu pada sebuah berita surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Hindia Belanda sejak 1895, Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, edisi 27 Agustus 1937, yang menulis sebuah laporan berjudul Electriciteit in Celebes, De Bouw van den Sadang - Stuwdam (Listrik di Sulawesi, Pembangunan Bendungan Sadang).[1]

Laporan ini menyebut, NV Electriciteits Maatschappij Bali en Lombok (EBALOM), anak perusahaan NV Algemeen Nederlands Indische Electriciteits Maatschappij (ANIEM)[2], perusahaan listrik di Denpasar yang dibangun pada tahun 1927 dan dioperasikan pada 1928[3], telah mengajukan konsesi untuk penyediaan energi listrik di Donggala dan Palu.[4]

NV EBALOM sendiri memiliki cabang perusahaan yang tersebar di beberapa wilayah, seperti di Singaraja, Denpasar, Gianyar, Tabanan, Klungkung, Ampenan, Gorontalo, dan Ternate.[5] NV ANIEM sendiri sebagai induk perusahaan NV EBALOM, didirikan pada 1909, sebagai anak perusahaan gas Hindia Belanda, Nederlandsch-Indische Gasmaatschappij (NIGM), yang berdiri sejak 1864. Sebelum ada listrik, sumber lampu-lampu kota adalah gas, dan NIGM adalah salah satu pemasok utamanya.[6]

Surat kabar itu juga menulis, konsesi untuk Menado sudah diberikan kepada NV ANIEM, begitu juga dengan konsesi untuk Makassar, diberikan kepada NIGM.[7] Perusahaan lainnya, NV Maatschappij tot Exploitatie van Plaatselijke Bedrijven (MEPB)[8], dalam surat kabar itu disebut memasok energi listrik ke sejumlah wilayah di Sulawesi bagian Selatan, seperti Pare-Pare, Watampone, Bantaeng, Palopo, Sengkang, Sindjai, Bau-Bau dan Majene. MEPB dengan modal yang disediakan oleh kas lanskap, disebut akan membangun pembangkit listrik tenaga air, di bendungan yang akan dibangun di atas Sungai Sadang, bekerja sama dengan onderafdeelingen Waterkracht en Irrigatie (subdivisi Pembangkit Listrik Tenaga Air dan Irigasi).[9] Pembangunan pembangkit listrik tenaga air ini, melihat peluang penanaman padi di daerah-daerah itu yang disebut akan meningkat secara signifikan sebagai akibat dari irigasi/bendungan ini, kemudian pembangunan penggilingan padi baru dan modernisasi yang ada, juga akan mengikuti secara paralel. Pembangunan industri baru ini membutuhkan pasokan energi listrik yang menggantikan pembangkit listrik kalori/panas, yang ada di tempat-tempat tersebut, dengan tenaga air yang lebih murah.[10]

Pembangkit listrik tenaga air sendiri merupakan sumber pasokan listrik yang penting bagi perusahaan-perusahaan Belanda, karena membutuhkan biaya yang paling murah, berdasarkan keadaan teknologi saat itu dan persediaan air yang melimpah. Mengikuti Ordonansi tahun 1890 No. 190 tanggal 13 September 1890, perusahaan swasta Belanda dapat menyelenggarakan usaha kelistrikan untuk keperluan umum.[11]

Ada tiga perusahaan swasta yang memegang peranan penting setelah ordonansi ini terbit, masing-masing NIGM (Nederlandsch-Indische Gas-Maatschappij) atau Perusahaan Gas Hindia Belanda); GEBEO (Gemeenschapp-Elijk Electriciteitsbedrijf Bandoeng en Omstreken) atau Pekerjaan Listrik Kota Bandung dan Kabupaten; dan ANIEM (Algemeene Nederlandsch Indische Electriciteit Maatschappij) atau Perusahaan Listrik Umum Hindia Belanda. Hak untuk menjalankan usaha di bidang ketenagalistrikan diberikan, dalam bentuk izin ketenagalistrikan, yang diterbitkan sebagai konsesi lokal dan regional.[12]

Sebelum ordonansi ini terbit, penyaluran tenaga listrik dilakukan oleh Netherlandsch-Indisch Electriciteit Maatschappij (NIEM) atau Perusahaan Listrik Hindia Belanda, yang didirikan pada Mei 1897. Namun Maxensius, mengutip Peter Mc Cawley berdasarkan disertasinya di Australian National University, Canberra pada 1971 tentang Industri Pasokan Listrik Indonesia menyebut, perusahaan perkebunan Belanda telah mengembangkan pembangkit listrik untuk penggunaan mereka sendiri, bahkan sebelum NIEM berdiri. Mengembangkan pembangkit listrik penting bagi perusahaan Belanda, untuk menjalankan bisnis seperti pabrik gula, pabrik teh, dan perkebunan lainnya, di mana sebagian besar komoditas tersebut ditujukan untuk pasar ekspor.[13]

Sebelum ada listrik, sumber lampu-lampu kota adalah gas, dan NIGM yang berdiri pada 1864, adalah salah satu pemasok utamanya. Pada 1883, ada 1.270 meteran gas di Batavia dan 384 meteran gas di Surabaya. Listrik mulai menyala di Batavia pada 1897. Namun, kehadiran listrik dianggap menyaingi usaha gas di Hindia Belanda. perusahaan listrik di Batavia untuk menjawab kebutuhan masyarakat atas lebih banyak cahaya. Perusahaan penyedianya adalah NIEM.[14]

Pemerintah Hindia Belanda sendiri tertarik untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga air, untuk melistriki kereta api negara, stasiun radio, industri, perkebunan, dan untuk konsumen dalam negeri. Mereka menaruh perhatian khusus pada pembangkit listrik tenaga air seperti yang ditunjukkan oleh pembentukan subdivisi independennya, Layanan Air, Tenaga dan Listrik, di bawah Departemen Perusahaan Pemerintah, pada Agustus 1917.[15]

Subbagian ini mengeluarkan izin pengusahaan air untuk pembangkit listrik kecil (kurang dari 75 kW) dengan jangka waktu tidak ditentukan sampai pemberitahuan lebih lanjut, dan pembangkit listrik besar (di atas 75 kW), yang diberikan jangka waktu tetap (empat puluh tahun). Izin skala kecil dibagi lagi menjadi dua jenis: satu untuk perkebunan Eropa, dan lainnya untuk sektor pribumi. Rata-rata izin perkebunan Eropa sekitar 37,5 kW sedangkan untuk sektor pribumi sekitar 4,5 kW. Dengan dikeluarkannya izin-izin ini, jelaslah bahwa pemerintah bermaksud untuk mengontrol pembangunan pembangkit listrik tenaga air skala kecil.[16]

Pemerintah juga mengeluarkan Staatsblad (Lembaran Negara) 1927 No. 419, untuk pendirian Lands Waterkracht Bedrijven (LWB) atau Perusahaan Listrik Negara. Perusahaan ini mengelola beberapa pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Di Jawa Barat terdapat beberapa PLTA, seperti PLTA Plengan, PLTA Lamajang, PLTA Bengkok-Dago, PLTA Ubrug, dan PLTA Kraca. PLTA Giringan terletak di Madiun dan PLTA Tonsea Lama di Sulawesi Utara. Perusahaan juga mengelola pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Jakarta.[17]

Ide PLTA Untuk Pertambangan

Sejumlah wilayah di Sulawesi bagian Tengah, juga pernah dilirik untuk dijadikan sumber pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di masa Hindia Belanda. Ketertarikan itu, dipicu oleh adanya potensi bijih besi dan nikel yang terkandung di sekitar lokasi yang akan dijadikan sebagai PLTA.

Surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Belanda sejak 1828, Algemeen Handelsblad, dalam edisinya pada 15 Juli 1919[18], menulis sebuah laporan berjudul Industrie (Industri), yang berisi laporan hasil eksplorasi di sejumlah kawasan yang memiliki potensi sebagai sumber PLTA. Laporan serupa juga ditulis oleh surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Semarang sejak 1845, De Locomotief, edisi pada 3 Juni 1919, yang berjudul Waterkracht-onderzoek in de Buitengewesten (Penelitian PLTA di wilayah luar).[19]

Surat kabar Algemeen Handelsblad menyebut, kapasitas tenaga air yang ditemukan oleh perusahaan swasta di Hindia Belanda, dapat diperkirakan setidaknya berkekuatan 500.000 tenaga kuda (PK).[20] Sementara itu, De Locomotief menulis, penelitian tentang kekuatan air yang penting di wilayah luar (luar Jawa red.), telah dilakukan dengan giat sejak tahun lalu (1918 red.), baik oleh perorangan, maupun oleh pemerintah melalui Dienst voor Waterkracht en Irrigatie (Departemen Tenaga Air dan Listrik).[21]

Sumber pembangkit listrik tenaga air yang besar sebut De Locomotief, telah dikenal melalui eksplorasi ini. Insinyur sipil A.G.A. van Eelde, disebut menjelajahi air terjun Bem-Brem di Sungai Kajan (Kayan) di Kalimantan (sekarang wilayah Provinsi Kalimantan Utara).[22]

Selain van Eelde, De Mestfabriek (Pabrik Pupuk) Jawa melakukan survei terhadap air terjun Tangga di Sungai Asahan di pantai timur Sumatera dan pada kesempatan yang sama menjelajahi air terjun kedua yang masih lebih besar di hulu. Wilayah lain yang juga menjadi sasaran eksplorasi adalah sungai dan danau di Sumatera  bagian Tengah dan Selatan.[23]

Kapasitas pembangkit listrik tenaga air yang dilacak ini, diperkirakan mencapai 500.000 PK (tenaga kuda). Selain itu, pembangkit listrik dengan kapasitas 100.000 PK ke atas, juga telah ditemukan di beberapa lokasi yang diselidiki.[24]

Bersamaan dengan penyelidikan di Kalimantan dan Sumatera, Departemen Tenaga Air dan Listrik melakukan eksplorasi tenaga air penting di Sulawesi Tengah (Midden Celebes) sehubungan dengan potensi bijih besi dan nikel yang ditemukan di daerah Malili (sekarang wilayah Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan).[25]

De Locomotief menyebut, dalam setahun, empat perjalanan telah dilakukan, terutama di daerah tangkapan air di La Rona (Larona, sekarang di wilayah Balambano, Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan), Kalaena (sekarang wilayah Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan), Poso, dan Laa (sekarang wilayah Bungitimbe, Kecamatan Petasia Timur, Kabupaten Morowali Utara, Provinsi Sulawesi Tengah). Dari wilayah-wilayah tersebut, lebih dari 500.000 PK tenaga air yang dapat dieksploitasi telah dieksplorasi, di mana yang terbesar ditemukan di Sungai Poso. Adapun tenaga air yang tersedia di La Rona, dapat menghasilkan 150.000 PK, yang memungkinkan pemrosesan bijih besi menggunakan tenaga listrik.[26]

Agar dapat secara teratur mengamati kekuatan air yang dilacak ini, observatorium air dan stasiun hujan telah didirikan di berbagai tempat di Midden Celebes (Sulawesi bagian Tengah), yang dikelola oleh divisi hidroteknik dari Dienst voor Waterkracht en Irrigatie.[27]



[1] Electriciteit in Celebes, De Bouw van den Sadang – Stuwdam, dalam Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, edisi 27 Agustus 1937, hlm. 2.

[2] Ibid.

[3] Sejarah Singkat PT PLN (PERSERO) Distribusi Bali, tanpa tahun terbit.

[4] Op.cit, hlm. 2.

[5] Eka Dewi Meirini, Tri Jatmiko Wahyu Prabowo, 2017, Sistem Informasi Penagihan Tunggakan Rekening Listrik di PT PLN (Persero) Rayon Comal, Undergraduate thesis, Sekolah Vokasi, Universitas Diponegoro, hlm. 9.

[6] Petrik Matanasi, 2017, ANIEM: Menyetrum Hindia Belanda, Menyalakan Indonesia, artikel di tirto.id, https://tirto.id/aniem-menyetrum-hindia-belanda-menyalakan-indonesia-cyRH, diakses pada 11 Agustus 2021, pukul 13.45 WITA.

[7] NV. NIGM beroperasi pada tahun 1920 di Kota Makassar. Lihat Maxensius Tri Sambodo, 2016, From Darkness to Light: Energy Security Assessment in Indonesia's Power Sector, ISEAS-Yusof Ishak Institute, hlm. 11.

[8] NV MEPB disebut beroperasi pada tahun 1930 di Kota Parepare. Lihat Maxensius, 2016, hlm. 11.

[9] Layanan Air, Tenaga dan Listrik, berada di bawah Departemen Perusahaan Pemerintah, yang berdiri pada Agustus 1917. Subbagian ini mengeluarkan izin pengusahaan air untuk pembangkit listrik kecil (kurang dari 75 kW), dengan jangka waktu tidak ditentukan sampai pemberitahuan lebih lanjut, dan pembangkit listrik besar (di atas 75 kW), yang diberikan jangka waktu tetap (empat puluh tahun). Izin skala kecil dibagi lagi menjadi dua jenis: satu untuk perkebunan Eropa, dan lainnya untuk sektor pribumi. Rata-rata izin perkebunan Eropa sekitar 37,5 kW sedangkan untuk sektor pribumi sekitar 4,5 kW. Dengan dikeluarkannya izin-izin ini, jelaslah bahwa pemerintah bermaksud untuk mengontrol pembangunan pembangkit listrik tenaga air skala kecil. Lihat Maxensius, 2016, hlm. 9-10.

[10] Electriciteit in Celebes, De Bouw van den Sadang – Stuwdam, dalam Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, edisi 27 Agustus 1937, hlm. 2.

[11] Maxensius Tri Sambodo, 2016, From Darkness to Light: Energy Security Assessment in Indonesia's Power Sector, ISEAS-Yusof Ishak Institute, hlm. 8-9.

[12] Ibid.

[13] Ibid, hlm. 8.

[14] Petrik Matanasi, 2017, ANIEM: Menyetrum Hindia Belanda, Menyalakan Indonesia, artikel di tirto.id, https://tirto.id/aniem-menyetrum-hindia-belanda-menyalakan-indonesia-cyRH, diakses pada 11 Agustus 2021, pukul 13.45 WITA.

[15] Ibid, hlm. 9-10

[16] Ibid.

[17] Ibid.

[18] Industrie, dalam Algemeen Handelsblad, edisi 15 Juli 1919, hlm. 9.

[19] Waterkracht-onderzoek in de Buitengewesten, dalam De Locomotief, edisi 3 Juni 1919, hlm. 4.

[20] Op.cit, Industrie, hlm. 9.   

[21] Op.cit, Waterkracht, hlm. 4.

[22] Ibid.

[23] Ibid.

[24] Ibid.

[25] Ibid.

[26] Ibid.

[27] Ibid.

Post a Comment

0 Comments