Kakbah dikelilingi jemaah haji, circa 1885. FOTO/Chr. Snouck Hurgronje |
Berbagai cerita hadir dari perjalanan menunaikan ibadah haji
di masa lalu, yang dilakukan oleh orng-orang di nusantara. Ahmad Fauzan
Baihaqi, dalam Pelayaran Angkutan Jamaah Haji di Hindia Belanda (tahun 1911-1930)
menjelaskan, aktivitas perjalanan haji dari nusantara, sangat tergantung
aktifitas pelayaran bagi jamaah haji, untuk menumpang kapal-kapal menuju ke
Pelabuhan Jeddah.
Sepanjang sejarah, perjalanan kapal-kapal yang membawa
jamaah haji sejak dahulu selalu mengalami hambatan dan tantangan. Pada
periode-periode abad pertengahan, diketahui pelayaran haji dari nusantara ke Hijaz,
pada umumnya ditempuh dengan menumpang kapal-kapal layar niaga, baik milik
domestik maupun milik orang-orang asing, seperti kapal orang-orang Arab. Masa
itu kapal niaga nusantara telah menunjang kapal-kapal pelayaran, yang sering
digunakan muslim untuk berlayar ke Hijaz.
Berdagang dan Menuntut Ilmu: Haji Nusantara di Masa Awal
Indira Ardanareswari dalam laporan Sejarah Kuota Haji
Masa Kolonial: Cara Belanda Jinakkan Fanatisme yang terbit di Tirto.id menyebut,
ibadah haji sebenarnya telah menjadi perjalanan keagamaan yang rutin dilakukan
orang-orang nusantara, paling tidak sejak abad ke-16. Meski demikian, kapan
perjalanan haji orang Nusantara pertama dilakukan dan siapa yang melakukannya,
tidak diketahui jejaknya dengan pasti.
Menurut M. Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji
Indonesia, sebagaimana dikutip dalam laporan tersebut, menyebut perjalanan haji
pada masa itu, tidak dapat dipisahkan dari aktivitas perdagangan dan
diplomatik. Orang-orang dari nusantara yang berkesempatan melakukan ibadah haji
untuk pertama kalinya, bukanlah jamaah haji murni, melainkan para pedagang.
Lainnya, merupakan utusan sultan dan para musafir penuntut ilmu. Kebanyakan
dari mereka menetap lama di Semenanjung Arab, sembari menanti bulan haji.
Pertumbuhan agama Islam yang bermula di Pasai sejak abad
ke-7 memunculkan minat studi Islam di Nusantara. Para penuntut ilmu dari
berbagai daerah berdatangan, untuk berpartisipasi dalam lembaga pendidikan
Islam di Pasai. Tidak sedikit pula di antara mereka yang melanjutkan studi ke
Haramain sambil melaksanakan ibadah haji.
Mereka yang berhasil menuntaskan pendidikan, kemudian
kembali ke tanah kelahiran untuk mendirikan pusat studi keagamaan yang sama.
Demikian pula tradisi mencari guru hingga ke Hijaz, melahirkan banyak ulama dan
syekh terkemuka di Nusantara abad ke-17.
Larangan Kapal Belanda
Mengangkut Jamaah Haji
Ahmad Fauzan Baihaqi menulis, memasuki abad ke-18, lalu
lintas pelayaran antara nusantara dan Samudera Hindia mulai di dominasi
kapal-kapal jenis Galleon dan Frigate, milik perniagaan Eropa. Konsekuensinya
ialah kepada calon jamaah haji kadang harus berlayar menaiki kapal-kapal milik
VOC dari Batavia menuju Teluk Aden, sebelum ke Jeddah. Kondisi ini kemudian problematis,
karena adanya larangan bagi kapal-kapal Belanda mengangkut para jamaah haji,
sesuai Besluit van 4 Augustus 1716. Bagi pribumi, hal ini menyulitkan. Oleh karena
itu, para jamaah berinisiatif untuk menumpang kapal-kapal niaga secara
sembunyi-sembunyi, dari pelabuhan satu ke pelabuhan lainnya, atau
mengoptimalkan kapal-kapal milik saudagar Arab, yang sering memberikan
tumpangan.
Menurut beberapa laporan yang dihimpun oleh Ahmad Fauzan Baihaqi, pelayaran dari Nusantara
menuju Semenanjung Arab pada masa kapal layar, membutuhkan waktu 5-6 bulan, itupun
sudah termasuk transitnya. Perjalanan laut ini pun harus memahami kondisi cuaca
atau musim angin bertiup, untuk kelancaran pelayaran kapal laut. Bahaya yang
selalu menghantui dalam pelayaran kapal adalah badai dan ombak tinggi.
Sementara itu, merujuk laporan perjalanan Abdullah Kadir
Al-Munsyi pada tahun 1854, untuk perjalanan kapal layar memakan waktu 3 bulan
untuk ke Jeddah, bila dari pelabuhan Singapura, tetapi bila menumpang kapal
dari pelabuhan Batavia atau pelabuhan di sekitarnya, memakan waktu lebih lama,
tergantung waktu transit di tiap-tiap pelabuhan, untuk berganti kapal, karena
kapal layar saudagar Arab yang menuju pelabuhan Jeddah, lebih banyak tersedia
di pelabuhan Singapura.
Sepanjang abad ke-19 kapal-kapal layar masih tetap eksis
digunakan untuk pelayaran, namun secara kapasitas sering kesulitan untuk
menampung jamaah haji, yang setiap tahun terus membludak. Setelah Terusan Suez
dapat dibuka tahun 1869, persaingan dagang semakin meningkat, ditandai evolusi
perkapalan ke kapal uap dan menjadi tanda kemajuan transportasi haji, dari
kapal layar berganti dengan kapal uap. Karena itu, pemerintah kolonial tahun
1873 memutuskan turut serta dalam pengangkutan haji, yang bekerjasama dengan
perusahaan-perusahaan pelayaran Belanda, yaitu Rotterdamasche Llyod, Mij
Nederland dan Mij Oceaan.
Ketakutan akan
Fanatisme: Resolusi Haji 1825
Laporan Indira Ardanareswari tentang sejarah kuota
haji masa kolonial menyebut, keberangkatan jamaah haji dari Hindia Belanda
menjadi lebih terorganisasi, memasuki abad ke-19. Para syekh dari berbagai
daerah muncul sebagai “biro perjalanan”, yang mengatur pemberangkatan calon jamaah
dari wilayah mereka. Selain menyiapkan rute, para syekh juga menyediakan kapal
khusus jamaah haji yang dapat menampung sampai ratusan orang.
Pada 1825, sekitar 200 orang dari berbagai karesidenan
datang melapor kepada polisi. Mereka membawa kabar bahwa akan diadakan
perjalanan ibadah haji dengan menumpang kapal khusus bernama Magbar yang
disediakan Syekh Umar dari Bugis.
Peristiwa ini, menurut M. Dien Majid dalam Berhaji di
Masa Kolonial, cukup membuat pemerintah Hindia Belanda kaget. Ini karena jumlah
peserta haji yang datang melebihi tahun-tahun sebelumnya. Dengan alasan
keselamatan, pemerintah kolonial kemudian menetapkan langkah politik untuk
mengatur kepergian dan kepulangan jamaah haji.
Faktanya, alasan keselamatan bukanlah satu-satunya. Menurut
pandangan pemerintah, lanjut Dien Majid, kelompok kecil yang mulai getol
megorganisasi keberangkatan haji berpotensi membentuk golongan tak bekerja yang
mengantarkan kepada fanatisme.
Ketakutan ini merujuk pada sejarah tradisional Banten yang
menuturkan kisah perjalanan haji Sunan Gunung Jati, yang dilalui dengan cara
gaib dan cenderung keramat bagi rakyat kecil. Karena itu pemerintah merasa
perlu mengawasi siapa saja dan berapa jumlah orang yang naik haji.
Merespon laporan dari 200 orang tersebut, pemerintah
mengeluarkan Resolusi pada 1825. Seperti yang sama-sama dicatat Shaleh Putuhena
dan Dien Majid, isinya adalah pemerintah Hindia Belanda memberi izin kepada 200
jamaah haji untuk berlayar ke Makkah menggunakan kapal Magbar. Syaratnya:
para jamaah haji wajib dibekali paspor haji dan harus membayar ongkos naik haji
sebesar f110.
Infografis: Tirto.id |
Di Hindia Belanda, pengelolaan haji dilakukan oleh
Gouverneur Generaal Nederlandsch Indie (GGNI) dan Algemeene Secretaris (Sekretariat
Umum). Selain bertugas mengeluarkan paspor, kedua departemen ini juga bertugas
mengatur kapal haji. Di saat bersamaan, maskapai Inggris juga mulai terlibat
dalam pengangkutan jamaah haji. Berkat keterlibatan Belanda dan Inggris, sejak
paruh kedua abad ke-19, jamaah haji tidak lagi berangkat menggunakan kapal
layar milik para syekh, tetapi diangkut menggunakan kapal uap.
Di samping bidang angkutan, pengaturan kuota haji juga
semakin tampak di tahun 1872. Kala itu pemerintah Belanda mulai membuka konsulat
di Jeddah yang khusus menangani administrasi dan izin tinggal jamaah haji dari
Hindia Belanda di Makkah. Dari sinilah total jumlah jamaah haji yang berangkat
setiap tahun mulai terpantau.
Jacob Vredenbergt mengikhtisarkan angka kuota jamaah haji
dari 1873 sampai 1899 melalui data yang terangkum dalam Koloniaal Verslag.
Menurut data yang dipaparkan, setidaknya sudah ada 19 wilayah di Hindia Belanda
yang memberangkatkan calon jamaah haji secara rutin setiap tahun. Daerah-daerah
yang paling banyak memberangkatkan jamaah haji sepanjang tahun-tahun tersebut
antara lain: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Palembang, Sumatra
Barat, dan Kalimantan Tenggara.
Akan tetapi, menurut Vredenbergt, data yang tersedia
tidaklah akurat. Terdapat banyak perbedaan antara data yang dilaporkan konsulat
di Jeddah dengan Koloniaal Verslag. Kuat dugaan masih ada banyak sekali jamaah
haji yang tidak terdata atau pergi tanpa surat-surat resmi.
Kisah Haji di Midden
Celebes Akhir Abad 19
Untuk wilayah Sulawesi bagian tengah atau yang dikenal
dengan sebutan Midden Celebes, juga terdapat berbagai kisah mengenai perjalanan
mereka menunaikan ibadah haji. Ahli linguistik, Nicolaus Adriani bersama etnografer,
Albert Christiaan Kruyt, dalam De Baree Sprekende Toradja’s van Midden Celebes
yang terbit tahun 1914 menyebutkan, orang-orang di sebelah selatan Teluk Tomini
seperti Parigi, Sausu, dan Tojo, pada akhir abad 19, belum terbiasa berhubungan
dengan dunia luar, sehingga belum mampu mengatasi ketakutan tentang apa yang
ada di luar wilayah mereka. Hal ini kata mereka, membuat masyarakat di wilayah
tersebut, belum secara serius mempertimbangkan perjalanan ke Mekkah (baca: berhaji).
Keduanya menyebut, mayoritas orang yang telah menunaikan
ibadah haji di selatan Teluk Tomini adalah orang Kaili, Bugis dan beberapa orang
Gorontalo. Di Parigi, N. Adriani dan A.C. Kruyt hanya menemukan dua orang
Parigi yang menyandang gelar haji. Situasi serupa agaknya juga terjadi di
wilayah lain di Midden Celebes.
Mereguk Prestise Dari
Kisah Berhaji
Keduanya menulis, hanya dalam beberapa tahun, nampak peningkatan
animo di Tojo untuk pergi berziarah (baca: berhaji). Ketakutan akan perjalanan
besar ke Mekkah (baca: berhaji), berkurang secara nyata, ketika beberapa orang
Tojo melakukan ibadah haji pada tahun 1893/1894, dan kembali ke daerah mereka
dalam keadaan makmur.
Untuk meningkatkan prestise mereka, para jamaah haji yang
kembali ini, berlomba menceritakan semua pengalaman tentang perjalanan mereka, namun
tidak banyak yang terdorong untuk pergi mengikuti jejak mereka. Hal ini disebabkan
oleh biaya yang besar, yang menyebabkan sebagian besar masyarakat di sana, belum
dapat mengimplementasikan niat mereka untuk ikut berhaji. Pada masa itu, para jamaah
haji wajib dibekali paspor haji dan harus membayar ongkos naik haji sebesar
f110, berdasarkan Resolusi 1825, yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia
Belanda. Keduanya juga mencatat, pada tahun 1902, sebuah acara besar dilaksanakan
oleh Raja Tojo yang akan pergi berhaji, tetapi kematiannya menghancurkan
seluruh rencana tersebut.
Semua jamaah haji dan ulama yang melintas di wilayah Tojo, menggambarkan
kemuliaan dari berhaji. Dorongan untuk berhaji, bahkan datang dari negeri yang jauh.
Adriani dan Kruyt mencatat, pada tahun 1901, Raja Tojo menerima surat dari salah
seorang Sayyid yang mengatakan, untuk memfasilitasi para jamaah haji, Sultan
Istanbul telah membangun jalur kereta api ke Mekkah, sehingga raja tidak perlu
lagi khawatir untuk pergi menunaikan ibadah haji.
Jalur kereta api ini sendiri dikenal dengan nama Hejaz
Railway atau jalur kereta api Hijaz. Jalur kereta api ini adalah
jalur kereta api yang dibangun pada masa pemerintahan Usmaniyah Turki, pada
masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid II. Jalur ini terbentang antara Damaskus
(Suriah) –Amman (Yordania) sampai ke Madinah (Arab Saudi). Jalur kereta
api ini merupakan bagian dari jalur kereta api yang menghubungkan antara Istanbul
– Haifa (Israel), yang merupakan salah satu proyek infrastruktur pemerintahan
Usmaniyah, selain program telekomunikasi dengan memasang kabel telegraf di
seluruh wilayah Usmaniyah, yang saat itu meliputi wilayah sebagian Afrika
utara, Timur Tengah, sampai Balkan.
Pembangunan jalur kereta api ini sudah dilakukan pada tahun
1840 M, namun baru direalisasikan pada tahun 1908. Rencana ini
dilakukan untuk lebih menyatukan wilayah Usmaniyah yang luas, dengan sarana
transportasi dan telekomunikasi yang memadai, di mana saat itu sarana
transportasi darat yang lebih memadai adalah kereta api, sekaligus
sebagai salah satu program Pan Islamisme, yang dilancarkan oleh
Sultan Abdul Hamid II. Selain itu khusus jalur Hijaz, dibangun mempermudah dan
meningkatkan pelayanan jamaah haji.
Misteri Kota Orang
Mati: Mekkah dan Motivasi Berhaji
Adriani dan Kruyt menulis, bagi mereka yang cenderung
religius, perjalanan berhaji merupakan hal yang sangat diinginkan, karena
mereka percaya, hal itu akan memberi mereka pengampunan dosa. Hal lain yang menarik
menurut keduanya, bagi orang Tojo, Parigi dan Sausu di masa itu, menunaikan
ibadah haji dengan segala kesulitannya, lebih menarik untuk dilakukan, daripada
ibadah lainnya yang sederhana, seperti doa harian. Namun menurut keduanya,
pengampunan dosa, nyatanya bukanlah motivasi utama, mengapa banyak orang ini ingin
pergi berhaji, jika mereka memiliki kemampuan untuk melakukannya. Motif utamanya
adalah kemegahan Mekkah yang dinilai misterius, di mana Mekkah diselimuti oleh
cerita-cerita misterius.
Mekkah dikatakan sebagai pusat bumi. Semua jiwa orang yang
telah meninggal, dikatakan pergi ke Mekkah, dan ini adalah daya tarik misterius
yang diberikan Mekkah. Di Mekkah, mereka yang menunaikan ibadah haji, dikatakan
seringkali melihat penampakan ayah, ibu dan kerabat mereka yang telah meninggal
dunia. Di Baitullah, para roh orang yang telah meninggal dunia ini, dikatakan mendekati
para jamaah haji yang menjadi keluarganya dan berjabatan tangan dengan mereka.
Dalam cerita itu disebutkan, isyarat dan roh orang-orang yang
telah meninggal tersebut, dikenali dengan tangan mereka yang hangat atau dingin.
Orang mati disebutkan datang dari sisi timur Baitullah, sedangkan yang hidup,
datang dari sisi Barat.
Hal ini kata Adriani dan Kruyt, mempengaruhi pandangan
masyarakat lokal di Midden Celebes, bahwa orang mati pergi ke barat, ke tanah
orang mati, karena mereka yang masih hidup dikatakan senang menghadapi
matahari. Hal inilah yang kemungkinan besar membuat orientasi arah makam pemeluk
agama Islam di Midden Celebes, berorientasi timur-barat. Pada setiap upacara
kematian di masa itu, orang yang hidup harus turun dari tangga timur Lobo,
sedangkan jenazah dibawa menuruni tangga di sebelah barat, sehingga mereka
menghadap ke barat.
Semua jenis cerita dari mereka yang menunaikan ibadah haji
di masa itu, berkisar pada pertemuan orang hidup dan orang mati. Pemahaman yang
hadir di masa itu, yang meyakini Mekkah sebagai kota tempat orang yang sudah
meninggal, adalah letaknya di arah Barat Midden Celebes, arah di mana matahari
terbenam, di mana tanah orang mati terletak.
Salah satu dari beberapa orang Tojo yang menjadi haji
memberi tahu N. Adriani dan A.C. Kruyt bahwa seorang yang terpelajar di Mekkah,
telah memberitahunya, ada empat cara untuk menjadi haji. Pertama, dipanggil
oleh Nabi Muhammad, di mana semua dari mereka wafat di Mekkah. Kedua, dipanggil
oleh malaikat, di mana jamaah haji tersebut melakukan perjalanan bolak-balik
antara Mekkah dan tempat tinggal mereka, untuk mempelajari orang banyak. Ketiga,
disebut namanya oleh Kabah, di mana mereka ini tetap di Mekkah untuk menerima
pendidikan. Keempat, dipanggil oleh setan, di mana mereka ini hanya menjadi
haji untuk membuat nama atau gelar, dan kemudian kembali ke negara mereka
sesegera mungkin.
Terakhir, keduanya menulis, hari raya haji (Idul Adha) diperingati
di sana-sini di pesisir Teluk Tomini, setelah sebelumnya melaksanakan puasa selama
tiga hari, yang dikenal sebagai puasa Dzulhijjah, puasa Tarwiyah dan puasa
Arafah. Pada tanggal 10 Dzulhijjah, dilakukan salat Ied di masjid, dan
setelahnya disajikan aneka makanan yang lezat. Hanya sedikit sekali yang
berpartisipasi dalam puasa tiga hari atau yang biasa disebut haji kecil (adji kodi),
bahkan tidak semua haji yang hadir. Hal ini karena, dikatakan bahwa tidak berpuasa, tidak
mengurangi keselamatan di akhirat. ***
0 Comments