Berhaji Dalam Perspektif Ritual Tradisional

FOTO: Ilustrasi berhaji. FOTO: DETIK.COM


Oleh: Herlinda (Mahasiswa Jurusan SPI UIN Datokarama Palu)

Sakatang sedari tadi terlihat sangat sibuk. Mobil yang akan mengantar dia dan anaknya menuju ke Palu, sudah menunggu di halaman rumahnya di Desa Ogodopi, Kecamatan Kasimbar, Kabupaten Parigi Moutong. Namun, perempuan paruh baya ini tidak ingin pergi, sebelum menyimpan beras dan kelapa hidup di Possi Bola atau tiang tengah rumah. Selesai menaruh dua benda tersebut, dirinya bersama sang anak naik ke mobil dan berlalu menuju Palu.

Hari itu, Sakatang dan ibunya, Bundu, berangkat ke Palu untuk masuk ke asrama haji transit Palu. Keduanya akan berangkat menunaikan ibadah haji untuk pertama kalinya. 

Beras ini sebagai bekal, agar supaya pada saat di Mekkah tidak kekurangan makanan. Sedangkan kelapa menandai tentang kesehatan. Jika tunas kelapanya layu, itu menandai bahwa orang yang berhaji tersebut sedang sakit,” ujar Sakatang.

Apa yang dilakukan oleh Sakatang, adalah salah satu dari sekian banyak ritual tradisional yang dilakukan oleh mereka yang akan berangkat menunaikan ibadah haji. Ritual-ritual ini kata dia, telah dilakukan sejak dahulu oleh masyarakat di daerah asalnya, yakni Soppeng, Sulawesi Selatan.   

Selain ritual menaruh beras dan tunas kelapa di tiang tengah rumah, ada beberapa ritual lainnya yang dilakukan oleh seseorang yang hendak pergi berhaji. Sakatang menjelaskan, ketika seseorang hendak pergi berhaji, mereka melakukan silaturahmi dengan kerabat dan keluarga, dengan membuat acara di rumah, sehingga keluarga dan kerabat berkumpul dan mereka saling maaf-memaafkan.

Kemudian, mereka juga melaksanakan salat taubat sebelum berangkat, agar perbuatan mereka yang tidak baik, bisa dimaafkan. Hal ini dilakukan karena menurut cerita, orang yang hendak pergi berhaji, akan mendapatkan balasan atas perbuatan mereka. Selain itu, mereka juga melakukan ziarah kubur sebelum berangkat, dan juga pada saat mereka kembali nanti.

Pada saat membuat acara silaturahmi tersebut, mereka yang hendak pergi berhaji tidak diperbolehkan menyembelih hewan di rumah, seperti ayam, kambing, sapi, dan lain-lain. Mereka hanya diperbolehkan untuk membeli yang sudah disembelih. Hal ini kata Sakatang, dilarang karena mereka nanti akan berkurban di Mekkah, sehingga dilarang untuk mendahuluinya dan jika tetap dilakukan, dipercaya dapat membawa bahaya bagi orang yang akan pergi berhaji.

Selanjutnya, pada saat mereka berada di Mekkah, keluarga di rumah melakukan Ma’baca atau Barasanji dengan tujuh macam penganan, setiap malam Jumat, agar supaya apa yang mereka lakukan itu mattuju-tuju. Selain itu, keluarga yang ditinggalkan di rumah, tidak boleh mengeluarkan barang apapun yang berada di rumah tempat tinggalnya dan juga barang orang lain yang berada di rumah tidak bisa dikembalikan, selama mereka berada di Mekkah. Jika tetap dilakukan, ini akan membuat orang tersebut sakit.

Kemudian, setelah mereka melempar jumrah, ada namanya Mappatoppo atau dipasangkan Songko (kopiah) di kepalanya. Ini menandakan bahwa mereka sudah resmi menjadi haji dan setelah mereka pulang dari Mekkah, tidak bisa memperlihatkan ubun-ubun selama 44 hari.

Sejumlah ritual tradisi yang berkaitan dengan haji di atas, merupakan bagian dari bagaimana masyarakat memandang ibadah haji itu sendiri. Sakatang yang lahir dan besar dalam keluarga Bugis, memiliki pemahaman tentang berhaji, berdasarkan perspektif yang melekat pada orang Bugis tentang haji, yang diwariskan secara turun temurun melalui tuturan, walaupun mereka jauh dari tanah kelahirannya.

Subair dalam Simbolisme Haji Orang Bugis: Menguak Makna Ibadah Haji Bagi Orang Bugis di Bone, Sulawesi Selatan menjelaskan, ada dua konsep yang melandasi pemahaman orang Bugis terhadap haji, yaitu konsep kesuksesan hidup dan konsep takdir. Haji dianggap sebagai prestasi tertinggi seorang manusia karena merupakan simbol kesuksesan dalam kehidupan dunia sekaligus sebagai kesuksesan sebagai seorang Muslim. Takdir, karena menurut mereka meskipun seseorang mempunyai harta yang melimpah tetap saja tidak bisa dipergunakannya untuk memenuhi biayanya menunaikan haji.

Dirinya menjelaskan, bagi sebagian besar orang Bugis gelar haji adalah sebuah gelar yang prestisius, yang dengan mendapatkannya seseorang akan naik derajat sosialnya. Meskipun pengaruhnya tidak sebesar aspek busana haji dalam memotivasi mereka naik haji, tapi dari penuturan mereka dan hasil pengamatan tampak bahwa gelar haji adalah salah satu aspek yang memotivasi. Mereka tampak begitu senang ketika dipanggil haji dan sebaliknya akan kelihatan kecewa kalau tidak dipanggil haji.

Menurut Subair, status seseorang meningkat dalam stratifikasi sosial setelah ia melaksanakan ibadah haji. Perempuan menunaikan ibadah haji, sangat dimotivasi oleh kegiatan-kegiatan adat. Status sosial itu, utamanya terlihat pada acara-acara adat, seperti perkawinan pada seluruh tahapan tradisinya. Perempuan yang diundang dan terlibat pada acara itu, hanya yang berstatus haji, sedangkan pada kelompok laki-laki, kehajian seseorang memberinya kesempatan untuk menempati posisi-posisi duduk yang utama, yang disediakan khusus bagi warga masyarakat kelas satu atau kelas dua.

Post a Comment

0 Comments