Bakau, Solusi Mitigasi Bencana di Teluk Palu?

 FOTO: S.S. Reynst van de KPM in de Paloe-baai

Wacana untuk membangun tanggul penahan tsunami sepanjang 7,5 kilometer (km) dengan tinggi tiga meter di wilayah Teluk Palu, menjadi perbincangan hangat dalam beberapa bulan pasca bencana 28 September 2018. Rencana tersebut didengungkan oleh Japan International Coorporation Agency (JICA), di mana direncanakan tanggul tersebut membentang dari Kelurahan Silae, Kecamatan Ulujadi, hingga ke kawasan penggaraman Pantai Talise, Kecamatan Mantikulore.

Rencana ini mendapat penolakan dari sejumlah aktivis dan pemerhati lingkungan di Kota Palu. Mereka menganjurkan penanaman bakau sebagai penahan ombak alami. Asumsi ini berkaca dari kumpulan bakau di wilayah Kabonga, Kabupaten Donggala, yang menjadi penahan gelombang tsunami di sana.

Penganjuran penanaman bakau sebagai benteng alami dalam menghadapi tsunami tersebut, juga didasari oleh sejumlah bukti sejarah, terkait adanya ekosistem bakau di teluk Palu. Troppen Museum tercatat memiliki dua buah foto yang memperlihatkan adanya ekosistem bakau di Teluk Palu.

Foto pertama diberi judul Bomen langs de kust van de Paloe-baai bij Wani, atau yang jika dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Pohon di sepanjang Teluk Palu di Wani. Foto bertitimangsa 1905-1914 ini, memperlihatkan view pemandangan pantai yang ditanami rumpun bakau.

Foto kedua, diberi judul S.S. Reynst van de KPM in de Paloe-baai atau yang jika dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia menjadi S.S. Reynst dari KPM di Teluk Palu. Foto bertitimangsa 1905-1914 ini, memperlihatkan S.S. Reynst, sebuah kapal uap milik Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), perusahaan pelayaran di zaman Hindia Belanda, yang berkedudukan di Amsterdam, Belanda. Dalam foto tersebut, kapal ini terlihat tengah berada di lepas pantai Teluk Palu, yang ditumbuhi bakau. Jika melihat dari posisi pegunungan di dalam foto, posisi pengambilan gambar kemungkinan besar dilakukan dari arah utara Palu, tidak jauh dari posisi mulut teluk Palu.

Kedua foto yang menjadi koleksi Troppen Museum ini, agaknya yang menjadi pegangan bagi sejumlah pihak, terutama kalangan pemerhati lingkungan dan pemerhati sejarah, untuk mengusulkan penanaman kembali bakau di Teluk Palu. Ide ini bagi saya tidak keliru, namun mungkin perlu untuk melihat konteks Teluk Palu secara keseluruhan, dalam melihat realisasi ide tersebut.

Dilansir dari Wikipedia, Hutan bakau atau disebut juga hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di air payau,dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai, di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.

Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan kurangnya abrasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi.

Sejarawan Maritim Universitas Tadulako (Untad), Wilman D Lumangino menjelaskan, pantai Teluk Palu memang sejak dahulu ditumbuhi bakau, namun tidak di sepanjang garis pantai. Dirinya mengidentifikasi lokasi-lokasi di Teluk Palu yang ditumbuhi bakau, selain di kawasan sekitar jalan Trans Palu-Donggala, seperti kawasan pantai Taman Ria, muara Sungai Palu, muara Sungai Pondo, kawasan penggaraman Talise, ujung Tanjung Tondo, Layana, serta di kawasan pantai arah utara Palu.   

Wilayah pesisir Teluk Palu kata dia, bukan wilayah pantai yang menjadi habitat bakau dalam jumlah besar. Adapun jenis bakau yang tumbuh di sejumlah lokasi di pesisir Teluk palu, didominasi oleh jenis bakau kecil, yang memiliki nama latin Rhizophora stylosa.

“Tidak bisa dipaksakan di seluruh garis pantai ditanami bakau, karena titik-titik yang bias ditanami bakau hanya beberapa spot, yang juga tidak ditumbuhi bakau dalam jumlah besar, tidak seperti di Kabonga,” ujarnya.

Sebagian besar pesisir pantai Teluk Palu, menurut identifikasi Wilman, adalah pantai berpasir putih, yang tidak cocok sebagai ekosistem bakau. Adapun lokasi-lokasi yang dulu sempat menjadi lokasi ekosistem bakau, namun kini tidak lagi terlihat, menurutnya disebabkan oleh beberapa sebab, salah satunya reklamasi pantai.

Wilman menganjurkan, agar pemerintah melakukan upaya konservasi karang penghalang (barrier reef) yang ada di sepanjang pesisir Teluk palu, yang kini dalam keadaan rusak. Kata dia, selain karena guncangan gempa dan tsunami, barrier reef yang ada di pesisir Teluk Palu juga rusak akibat aktivitas pengambilan karang, sebagai bahan baku pembuatan kapur.

Selain upaya konservasi karang penghalang di pesisir Teluk Palu, penanaman pohon di pesisir Teluk Palu, juga dapat menjadi alternatif pilihan. Sejumlah foto koleksi KITLV berjudul Luchtopname van Paloe, Midden-Celebes atau foto udara Palu, Midden Celebes, yang dipublikasi pada 1946, memperlihatkan pesisir Teluk Palu yang ditumbuhi banyak pohon kelapa. Hal ini diperkuat dengan pernyatan salah seorang tokoh masyarakat Besusu Barat, Yusran Tembantina, yang mengatakan, di kawasan Pantai Besusu, dulu ditumbuhi banyak pohon kelapa.

“Dulu, saat besi-besi untuk pembangunan jembatan, diturunkan melalui pelabuhan Besusu ini, banyak pohon kelapa dirubuhkan untuk membuka jalan yang akan dilewati untuk memuat besi-besi jembatan tersebut. Saya lupa besi-besi tersebut, apakah untuk jembatan Palu I atau jembatan Palu III,” kenangnya.

FOTO: Luchtopname van Paloe, Midden-Celebes
Banyaknya pohon kelapa di kawasan Pantai Besusu ini juga menjadi berkah bagi para pemanjat kelapa yang berdiaspora dari Sulawesi Selatan. Wilman menyebut, di kawasan tersebut tinggal para pendatang dari Wajo, sekitar tahun 1912, yang berprofesi sebagai pemanjat kelapa atau buruh petik kelapa. Kawasan yang sekarang terletak di wilayah dekat Kantor TVRI Sulteng tersebut, kerap disebut oleh masyarakat lokal, dengan nama kampung La Tunde, yang diambil dari nama salah seorang pendatang asal Wajo, yang membuka perkampungan bagi para buruh petik kelapa tersebut.

Wilman juga mengidentifikasi, di pesisir Teluk palu juga banyak ditumbuhi pohon ketapang, atau yang dalam bahasa Kaili disebut dengan sebutan Talise. Habitat pohon ketapang ini kata dia, banyak ditemukan di wilayah pesisir pantai Teluk Palu.

Rencana pembuatan tanggul penahan tsunami memang dirasa bukanlah solusi yang tepat bagi upaya meminimalisir dampak tsunami di Teluk Palu, namun, terburu-buru untuk menyebut penanaman bakau sebagai jalan keluar lainnya dari persoalan tersebut, juga bukan merupakan hal yang tepat. Untuk itu, perlu ada kajian menyeluruh tentang aspek ekologis, sosiologis, bahkan historis di sepanjang pesisir Teluk Palu, untuk merumuskan solusi yang tepat. ***     

Post a Comment

0 Comments