Arsyad Risa: Kisah Singkat Keteguhan Sikap


Tidak banyak tokoh yang mampu melakukan transformasi sosial politik dalam hidupnya, dengan tetap memegang tegung prinsip dan idealisme. Arsyad Risa mungkin salah seorang di antaranya. Dirinya mampu bertransformasi dari seorang pendidik menjadi seorang politisi, dengan tetap berpegang teguh pada falsafah hidupnya, yakni katakan kebenaran meskipun pahit.  

Arsyad Risa lahir di Kaleke, pada 28 Desember 1936. Ia adalah anak kedua dari pasangan Yota dan Sawadia. Dua saudaranya, masing-masing bernama Andi Senga dan Efendi. Kakeknya dari jalur ayah, Risa adalah keponakan dari Radjamaili, yang disebut sebagai Magau Palu di periode akhir abad ke 19. Risa sendiri merupakan anak dari Rainta, adik dari Radjamaili.


Arsyad menikah dengan Remilia dan dikaruniai sembilan anak, maisng-masing; Susilawati, Rainta, Aris, Ichwan, Abdul Mualif, Darmawati, Arif Budiman, Etiherawati, dan Indriati.

Pendidik dan Pengabdi

Arsyad menekuni pendidikan hingga Sekolah Guru A (SGA). Tamat SGA tahun 1954, Arsyad menjadi guru bantu di SDN Sibalaya hingga 1957. Pada tahun 1957, dirinya pindah mengajar di SD Rarampadende selama dua tahun. Pada tahun 1959, dirinya pindah mengajar di SD Porame hingga tahun 1962.

Pada tahun 1962, dirinya didapuk sebagai kepala sekolah di SDN Kaleke hingga tahun 1971. Kemudian dari tahun 1971 hingga 1992, dirinya mengabdikan diri sebagai pegawai di Kantor Wilayah Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng). Dirinya resmi pensiun sebagai pegawai negeri sipil (PNS) per 1 Januari 1993.

Mewakafkan Hidup di Sarekat Islam

Arsyad Risa mengenal dunia politik dan pergerakan, setelah bergabung dengan Sarekat Islam atau Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), sejak periode 1960-an. Sarekat Islam memang memiliki rekam jejak yang panjang di wilayah Sigi Dolo. Menurut Arsyad, SI masuk ke wilayah Sigi Dolo pada tahun 1917, ditandai dengan pelantikan pelantikan pengurus SI Sigi Dolo, yang dilaksanakan di kediaman Datupalinge. Adapun susunan kepengurusan SI saat itu, Datupamusu sebagai ketua, Datupalinge sebagai wakil ketua, dan Gagaramusu sebagai sekretaris.

Sementara itu, menurut biodata singkat Datupamusu yang disusun oleh Radja Gunu Datupamusu, pengaruh SI secara pribadi mulai tertanam dalam diri Datupamusu, yang berhubungan dengan SI di Jawa secara rahasia, melalui perantaraan Haji Laborahima, yang berasal dari Mamuju, sejak 1913. Haji Laborahima berdagang di Gresik, Jawa Timur dan sering datang di wilayah Sarudu. Wilayah Sarudu sendiri bukan merupakan wilayah yang asing bagi Datupamusu, karena kakek buyutnya, Tirolemba, berasal dari sana, dan menurunkan Aruntasi, kemudian Aruntasi menurunkan Yolulemba, ayah Datupamusu.

Kemudian pada tahun 1915, Datupamusu berhubungan dengan Haji Patimbang yang kembali dari Mekkah dan membawa berita perkembangan SI di Indonesia. Setahun kemudian, salah seorang pimpinan pusat SI, Abdul Muis mengunjungi wilayah Donggala dan Palu, untuk menginisiasi pembentukan SI di dua wilayah tersebut. Inisiasi ini sendiri melibatkan Datupamusu beserta sejumlah saudaranya seperti Datupalinge, Gagaramusu, serta Lapasere.

Pada tahun 1917, setahun setelah kedatangan Abdul Muis, pimpinan pusat SI, HOS Cokroaminoto melakukan kunjungan ke dua wilayah tersebut, untuk meresmikan pembentukan kepengurusan SI yang telah dibentuk setahun sebelumnya. Adapun susunan kepengurusan berdasarkan catatan tersebut, Datupamusu sebagai presiden, Datupalinge sebagai wakil presiden, Gagaramusu, sebagai sekretaris jenderal, Raja Muda Tengku Ali sebagai wakil sekretaris jenderal, serta Lapasere sebagai bendahara.

Di tahun yang sama, Datupamusu ditangkap oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan diasingkan ke Ternate, Maluku Utara, selama 9,5 tahun. Tahun 1926, Datupamusu bebas dari pengasingan, dan setahun kemudian, kembali aktif sebagai pimpinan SI Sigi Dolo  hingga 1930, seiring berubahnya SI menjadi PSII. Januari 1930, pimpinan SI, HOS Cokroaminoto datang untuk kedua kalinya di Donggala dan Palu dan bertemu langsug dengan Datupamusu dan saudara-saudaranya.

PSII sendiri aktif hingga masuknya pendudukan Jepang di tahun 1942 dan tiga tahun berikutnya, Datupamusu diajak oleh Haji Yoto Daeng Pawindu untuk beralih dari PSII ke PNI, untuk menghimpun suku-suku terasing yang baru sebagian kecil menganut agama Islam/Kristen. Kedua tokoh ini sendiri, sampai akhir hayatnya, tidak pernah memberikan pernyataan keluar dari PSII.   

Arsyad Risa sendiri tercatat pernah menjabat sebagai Sekretaris Pengurus Anak Cabang PSII Dolo Bahagian Barat, pada tahun 1963. Pada tahun 1968, Arsyad didapuk sebagai Ketua Pengurus Anak Cabang PSII Dolo Bahagian Barat, hingga tahun 1975.

Dari Bulan Bintang ke Beringin: Demi Cita-cita Perjuangan

Menurut Arsyad, pada pemilihan umum tahun 1971, PSII meraup kurang lebih 70 persen suara di Kaleke. Capaian ini diperoleh, karena militansi kader PSII, mulai dari tingkatan pemuda. Sayap pemuda PSII, yakni Pemuda Muslimin, dikenal dengan militansinya, karena proses kaderisasi yang menggembleng dan membentuk kecintaaan terhadap organisasi. Arsyad mengatakan, untuk wilayah Dolo sendiri, kaderisasi dilakukan di sejumlah wilayah, seperti Kaleke, Dolo dan Marawola.

“Untuk materi sendiri, kaderisasi diisi dengan materi ketauhidan, serta filosofi hidup untuk membela kepentingan rakyat, utamanya rakyat kecil. Dalam proses kaderisasi ini, ditandai dengan cap jempol darah, sebagai bukti kesungguhan,” jelas Arsyad Risa, saat diwawancarai di kediamannya di Kaleke, Sabtu (21/12/2019).

Keberhasilan meraup suara signifikan tersebut membuat Arsyad dilirik oleh kepengurusan Golkar di Kabupaten Donggala. Bupati Donggala saat itu, Aziz Lamadjido, secara khusus memintanya untuk mengupayakan hal yang sama untuk Golkar. Seiring dengan kebijakan fusi partai pada tahun 1973, di mana PSII bersama partai-partai Islam lainnya melebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), membuat Arsyad memikirkan permintaan tersebut. Baginya, cita-cita memperjuangkan kepentingan rakyat, lebih penting dari sekedar status keanggotaan partai.

Pada pemilu tahun 1977, Arsyad memutuskan memenuhi permintaan Aziz Lamadjido untuk mengupayakan raupan suara maksimal untuk Golkar di Kaleke. Salah satu hambatan yang berat kata dia, adalah meyakinkan para kader Pemuda Muslimin di sana untuk beralih pilihan. Sistem kaderisasi yang melahirkan militansi, membuat proses beralih pilihan tersebut, tidak segampang membalikkan telapak tangan.

“Hanya satu hal yang saya tegaskan waktu itu. Saya bilang ke mereka, keyakinan kita tetap PSII, peralihan ini hanya jembatan kita untuk tetap memperjuangkan cita-cita menyejahterahkan rakyat,” ujarnya.

Pada akhirnya, hasil pemilu tahun 1977 di Kaleke, sesuai harapan Arsyad. Golkar pada pemilu tersebut meraup 70 persen suara di sana. Dua tahun sebelum pemilu 1977, Arsyad bahkan sudah didapuk sebagai Komisaris Golkar Kecamatan Dolo hingga 1977. Belasan tahun setelahnya, Arsyad menuai hasil kerja kerasnya tersebut. Pasca reformasi, Arsyad kembali bergabung dengan PSII hingga tahun 2008, di mana pada tahun 1998, dirinya didapuk sebagai Sekretaris PSII cabang Kabupaten Donggala.

Atas Nama Rakyat: Kiprah Arsyad di Parlemen Donggala

Setelah pensiun dari PNS tahun 1993, Arsyad tidak lama menikmati masa pensiunnya. Dua tahun kemudian, dirinya didapuk sebagai pengganti antar waktu (PAW) anggota DPRD Kabupaten Donggala, menggantikan Pasaulolo Dg Malindu. Dirinya menjadi PAW bersama tiga orang lainnya, yakni Ridwan Yalidjama, Sutomo Borman, serta Asmoedji Slamet.

Pada DPRD periode 1992-1997 tersebut, Arsyad tergabung dalam Fraksi Karya Pembangunan bersama Tampari Masuara, Mahfud Lamakampali, Muhammad Lationo, Abdillah Yusuf, Thamrin L. Ntosa, Tri Murti Syuaib, Ridwan Yalidjama, I Made Sandria, Bambang Sutrisno, Adam Ardjad Lamarauna, Movita N. Bustani Taut R, Muchtar Burhan, Ali S. Baha, Faisal Tamagangka, Arie F. Manoppo, Sutomo Borman, Abidin Pagessa, Amrillah Ukap, Moh. Saleh Sosoran, Mamur Lubis Ponulele, Ulfah A. Mughni, Yusuf Redjo, Asmoedji Slamet, Moh. Soedjiman, serta Ahmad Rahim.

Arsyad sendiri tergabung dalam Komisi B yang membidangi Ekonomi Produksi, bersama Abdillah Yusuf, Munir H. Muh. Saleh, Arie F. Manoppo, Mamur Lubis Ponulele, Ulfah A. Mughni, Zabir H.J. Dg Pawindu, Muh. Karim, serta Hasbullah.

Saksi mata peristiwa Merah Putih di Kaleke, 11 Februari 1946 tersebut mengisahkan, saat dirinya duduk di DPRD Donggala, sekitar 40 persen gajinya digunakan untuk membantu masyarakat, atau siapapun yang membutuhkan. Menurutnya, berbagai kalangan biasanya datang kepadanya dan anggota DPRD lainnya untuk meminta bantuan, mulai dari kalangan mahasiswa hingga masyarakat desa. Sebagian besar dibantu oleh Arsyad dengan bantuan berupa barang.

“Biasanya saya arahkan ke toko langganan di Masomba atau diambil di koperasi DPRD, kalau keperluannya untuk barang. Saya jarang beri uang tunai, karena punya pengalaman, tidak digunakan sebagaimana mestinya,” ujarnya.

Selain ringan tangan, Arsyad juga dikenal sebagai pribadi yang tegas dan teguh dalam bersikap. Dirinya tidak segan-segan bertentangan dengan pejabat daerah, berkaitan dengan urusan pembangunan, yang dinilainya tidak sesuai peruntukkannya. Arsyad misalnya mengisahkan, dirinya pernah berselisih paham dengan salah seorang pejabat daerah, masalah pengadaan mobil dinas.

“Pernah suatu ketika saya menyela usulan salah seorang pejabat yang ingin mengadakan tiga mobil dinas dalam satu periode untuk dirinya dan keluarganya. Saya katakan, kalau ini disetujui, setiap tahun anggaran daerah hanya habis untuk beli mobil dinas,” ujarnya.

Perjalanan hidup Arsyad Risa yang penuh dinamika, telah teruji beberapa fase perubahan zaman, mulai dari zaman kolonial, pendudukan Jepang, orde lama, orde baru, hingga orde reformasi saat ini. Dirinya bertransformasi dari seorang pendidik menjadi seorang elit politik, dengan tetap mempertahankan idealisme dan keteguhan sikap, sesuai falsafah hidupnya, katakan kebenaran, meskipun pahit. ***

Post a Comment

0 Comments